Jurnal Presiden #1 - Why

22:22 1 Comments

Menoleh ke belakang. Suatu kebiasaan yang sering sekali dilakukan manusia sebelum dia pergi atau berpisah. Bahkan, katanya, manusia akan melihat kilas balik kehidupannya sebelum meninggal dunia. 

Jangan pergi dulu! Tulisan ini tidak akan membahas hal menyeramkan semacam kematian, kok. Saya hanya akan bahas bagian menoleh ke belakangnya tadi. Sebagaimana premis saya sebelumnya, orang-orang biasanya akan menoleh ke belakang ketika mereka pergi atau berpisah dari sesuatu. Bisa tempat, pekerjaan, orang, atau mungkin masa lalu. Kalau saya, kali ini menoleh ke belakang karena akan meninggalkan posisi yang selama satu tahun melekat dalam diri saya. Presiden ISAFIS 2015.

Kata orang bijak, kita tidak boleh terlalu banyak menoleh ke belakang, dan sebaliknya harus selalu memandang ke depan. Ada benarnya memang. Terlalu banyak menoleh ke belakang memang seringkali membuat kita susah untuk move on dari sesuatu, seperti mantan misalnya. Namun, kali ini saya merasa perlu menoleh ke belakang bukan karena saya tidak siap menghadapi apa yang menanti di hadapan saya. Saya merasa perlu menoleh ke belakang untuk melihat apa saja yang telah saya lewati dan pelajaran apa saja yang saya dapatkan dari keseluruhan pengalaman tersebut. Itulah kurang lebih tujuan dari tulisan ini. 

"The only time you should ever look back, is to see how far you have come." - Anonym

Sejujurnya, cukup sulit untuk menceritakan seluruh pengalaman ini ketika saya sudah di ujung jalan. Semestinya, jurnal dibuat secara konsisten selagi kita dalam perjalanan itu sendiri. Jurnal yang dibuat secara rutin dan konsisten akan membuat cerita kita lebih rinci dengan emosi yang kuat karena baru saja dialami. Namun, seperti kata orang bijak (lagi), lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali. Jadi, mari kita mulai.

Mulailah dengan pertanyaan 'kenapa'. Kalau diterjemahkan dalam bahasa Inggris, kalimat tadi akan menjadi Start with Why. Sebuah judul buku yang sedang saya baca saat ini. Buku yang menjelaskan mengapa menemukan alasan kita melakukan sesuatu dan membagikan motivasi tersebut kepada orang lain dapat menggerakkan orang lain untuk bertindak sesuai harapan kita. Selain isi bukunya yang menarik, judul buku ini juga membuat saya mencoba mengingat dan memikirkan kembali alasan saya dulu ingin menjadi presiden.

Kalau dipikir kembali, saya menjadi presiden bukan karena 'apa', melainkan karena 'siapa'. Alasan saya menjadi presiden adalah seorang perempuan yang selama ini menginspirasi saya dengan semua gagasan, tindakan, dan tentu saja prestasinya. Seseorang yang saya anggap sebagai mentor pribadi tanpa pernah diminta kesediaannya. Seseorang yang setiap kali saya butuh bantuan, masukan, dan pertimbangan, selalu bersedia meluangkan waktunya. Seseorang yang setiap kali saya menceritakan masalah, selalu mau mendengarkan dan mampu menumbuhkan kembali semangat saya. Seorang perempuan yang pernah mengemban amanah yang sama dan berkontribusi besar dalam mengembangkan organisasi ini. Seorang mentor, senior, kakak, dan sahabat itu bernama Maya Susanti. Presiden ISAFIS 2012/2013.

Tidak berlebihan kalau saya mengatakan bahwa saya menjadi presiden karena Kak Maya. Saya bergabung dengan ISAFIS pada masa kepemimpinan Kak Maya. Saya mengenal Kak Maya pun lebih banyak lewat ISAFIS. Walaupun saya bukan orang yang paling rajin datang dalam kegiatan rutin, tetapi saya bisa merasakan banyaknya manfaat yang saya dapatkan sebagai anggota saat itu. Salahsatu yang paling berkesan dan membuat ingin sekali berkontribusi pada ISAFIS adalah kesempatan untuk menghadiri the 59th International Student Conference di Jepang. Pengalaman lainnya yang berkesan adalah menjadi head of social events Jakarta MUN 2013, padahal saat itu saya masih mahasiswa tingkat pertama. Selain itu, saya juga berkesempatan menjajal kemampuan saya dalam kegiatan model united nations sebagai trainer dan co-chair pada kegiatan-kegiatan ISAFIS lainnya. Berbagai pengalaman tersebut terjadi pada masa kepemimpinan Kak Maya. Karena itu, bagaimanapun, pengalaman-pengalaman itu akan merujuk pada Kak Maya.

Kalau disederhanakan, ada tiga hal sebenarnya yang paling berkesan dari masa kepemimpinan Kak Maya. Pertama, saya sebagai anggota merasa mendapatkan banyak keuntungan dengan bergabung dengan organisasi ini. Kedua, saya merasa cukup diperhatikan sebagai anggota oleh pimpinan organisasi. Ketiga, banyak prestasi yang ditorehkan oleh kepengurusan saat itu sehingga saya bangga sebagai bagian dari organisasi ini. Ketiga hal tersebut lah yang membuat saya ingin menjadi presiden. Saya ingin menjadi seperti Kak Maya yang mampu menginspirasi saya dengan cara dia memperlakukan anggota dan membuat organisasi ini jadi bermanfaat bagi anggotanya sendiri. Saya ingin orang lain mendapatkan manfaat yang saya dapatkan.

Saya ingin orang lain merasakan apa yang saya rasakan. Itu alasan utama saya ingin menjadi presiden di organisasi ini.

Apakah hanya itu alasannya? Tentu saja tidak. Ada alasan personal lain yang membuat saya ingin menjadi pimpinan tertinggi, alias ketua, alias presiden, di organisasi ini.

Entah karena terobsesi dengan kekuasaan, atau sangat menghargai kepemimpinan, sejak kecil saya selalu merasa senang setiap kali menjadi pemimpin, baik secara formal sebagai ketua organisasi, atau secara informal sebagai 'pentolan' diantara teman-teman satu tongkrongan. Misalnya, ketika saya masih bersekolah di tingkat Sekolah Dasar, saya senang menjadi Ketua Murid dan sering sekali menjadi memposisikan diri sebagai 'pentolan' sampai pernah berhasil membuat hampir seisi kelas memboikot satu orang teman saya yang dianggap tidak bisa dipercaya. Di jenjang-jenjang selanjutnya pun, saya tidak pernah menolak kesempatan untuk menjadi ketua organisasi. Misalnya, saat masih berseragam putih-biru, saya menjadi ketua organisasi rohani Islam (rohis) di sekolah. Masa putib-abu saya pun tidak jauh-jauh dari posisi ketua. Saya sempat menjadi ketua klub bisbol-sofbol sekolah dan majelis permusyawarahan kelas. Sampai saat ini pun, saya senang apabila berada atau dianggap sebagai pemimpin suatu kelompok.

Lagi-lagi masih kata orang (sok) bijak, Ayah adalah idola pertama kita, apalagi anak laki-laki. Mungkin karena itu juga sejak kecil ingin menjadi pemimpin. Karena saya selalu melihat Ayah yang menjadi ketua di mana-mana dan disegani banyak orang. Akibatnya, selain ingin menjadi pemimpin, saya juga selalu merasa punya bakat memimpin. Saking besarnya keinginan dan keyakinan saya itu, saya sering juga ikut pelatihan-pelatihan kepemimpinan. Setiap kali ada pelatihan kepemimpinan di sekolah, saya sering ikut untuk mencari tahu bagaimana caranya agar menjadi pemimpin yang baik. Karena masih sering penasaran dan merasa pelatihan kurang, saya juga rajin membaca buku-buku tentang kepemimpinan dan biografi pemimpin-pemimpin besar dunia. Dari semua itu saya sedikit-sedikit tahu tentang teori-teori kepemimpinan. Itulah yang kemudian menjadi modal saya untuk menjadi ketua di berbagai organisasi semasa sekolah dulu.

Satu masalah dari semua pengalaman organisasi saya: saya mungkin menjadi ketua yang baik, tetapi belum menjadi pemimpin yang baik.

Iya, kita tentu tahu bahwa ketua dan pemimpin bukan hal yang sama. Ketua adalah jabatan, sedangkan pemimpin adalah karakter. Seorang ketua bisa jadi tidak mampu memimpin, tetapi seorang pemimpin pasti mampu menjadi ketua.

Tugas ketua adalah memastikan bahwa pekerjaan organisasi terlaksana sesuai target yang telah ditetapkan sejak awal. Karena itu, menurut saya, selama ini saya adalah ketua yang baik. Kenapa? Karena ketua hanya perlu memastikan semua pekerjaan sesuai dengan standar yang ditentukan. Selama ini, setiap kali menjadi ketua, saya selalu berhasil menyelesaikan tanggung jawab saya. Saat menjadi ketua rohis, hampir seluruh program kerja terlaksana. Saat menjadi ketua klub, tugas pengurus terlaksana sampai akhir. Saat menjadi ketua majelis permusyawarahan kelas, pemilihan umum terlaksana juga dengan baik.

Lalu, di mana masalahnya?

Masalahnya adalah seorang pemimpin semestinya tidak hanya memastikan pekerjaan organisasi selesai. Lebih dari itu, seorang pemimpin semestinya mampu menginspirasi daripada memaksa, memerhatikan daripada memerintah, berkembang bersama daripada sendiri, mendengarkan daripada berbicara, memotivasi daripada menyuruh, dan memenuhi harapan anggota daripada targetan pribadi. Berdasarkan kriteria tersebut, saya merasa bahwa sebelumnya saya tidak mampu menjadi pemimpin dan baru mampu menjadi ketua saja. Karena itu juga saya sadar mengapa saya tidak merasa 'dicintai' anggota saya saat itu. Tentu saja karena saya lebih fokus pada pencapaian organisasi dan lupa akan pentingnya 'mengisi' diri anggota-anggota saya. Saya selalu lebih mementingkan pencapaian target daripada perkembangan anggota, lebih suka menyuruh daripada meminta pendapat, lebih suka mengancam daripada menginspirasi, dan lebih ingin didengarkan daripada mendengarkan.

Inilah alasan pribadi saya untuk menjadi presiden. Saya ingin belajar lagi menjadi pemimpin, bukan hanya ketua. Saya ingin membuat tidak hanya organisasinya yang berkembang, tetapi juga para anggotanya. Saya ingin mampu menginspirasi orang, bukan memaksa, sehingga mereka bekerja bersama saya, bukan untuk saya. Saya ingin mampu menyeimbangkan antara pemenuhan target organisasi dan kebutuhan anggota. Saya ingin menjadi pemimpin yang dicintai oleh yang dipimpinnya.

Saya harus menjadi presiden untuk mendapat kesempatan berubah dan mengubah cara saya dalam memimpin sebuah organisasi. Jabatan ini akan memaksa saya berubah dengan tanggung jawab yang tidak terpisahkan dari jabatan itu sendiri. Saya membutuhkan jabatan presiden untuk bereksperimen dan menemukan formula saya sendiri untuk menjadi pemimpin yang baik. Dengan begitu, saya bisa membuktikan, setidaknya pada diri sendiri, bahwa saya mampu memperbaiki kekurangan saya sebelumnya. Saya mampu berubah. Saya mampu menjadi pemimpin yang baik.

Ternyata, setelah dipikirkan kembali, alasan saya menjadi presiden sangat sederhana. Saya ingin orang lain merasakan apa yang saya rasakan ketika menjadi bagian dari ISAFIS, di samping sebagai bentuk terima kasih saya pada organisasi ini. Lebih personal, saya merasa ISAFIS merupakan tempat yang tepat sebagai tempat belajar dan bereksperimen untuk berubah menjadi individu yang lebih baik, dan tentu juga menjadi pemimpin yang baik.

Sok mulia atau egois, setidaknya saya memiliki alasan ketika memutuskan menjadi presiden tahun lalu.

Ilman Dzikri

Some say he’s half man half fish, others say he’s more of a seventy/thirty split. Either way he’s a fishy bastard.

1 comment:

  1. Aku mau gabung di ISAFIS. Di ISAFIS kira2 bisa dijelaskan kah apa saja yang kita pelajari? Kemudian, kira2 dalam seminggu berapa kali pertemuan ISAFIS diadakan? Trims

    ReplyDelete