Stop Worrying, Start Doing!
Masih tentang khawatir. Satu rasa yang tahun kemarin banyak mengajarkan saya cara menjaga asa. Guru dalam perenungan panjang mencari apa-apa yang boleh dan perlu diputuskan. Dia memang tidak ramah. Namun, pada akhirnya menunjukkan arah.
Jika ada satu kalimat untuk menggambarkan perjalanan saya selama setahun kemarin, kalimat tersebut adalah "Stop Worrying, Start Doing!". Sebuah mantra dari seorang guru yang bahkan tidak pernah bisa diajak bertemu.
Kekhawatiran mengajarkan saya bahwa dia bukanlah milik satu orang belaka. Dia ada di dalam diri setiap hamba. Terutama generasi muda yang terkenal dengan sebutan "millennial" (Generasi Y). Setidaknya itu kata Forbes, Elite Daily, dan Business Insider. Kang Simon Sinek juga ternyata setuju dengan tulisan-tulisan itu.
Kita, saya dan kamu juga banyak orang lainnya, adalah generasi yang identik dengan kekhawatiran. Setuju atau tidak, generasi millennial khawatir akan banyak hal: khawatir tidak cukup baik dalam melakukan sesuatu, khawatir akan apa yang orang lain pikirkan tentang kita, khawatir tertinggal oleh teman sebaya, khawatir tidak bisa mencapai impian pada waktu yang kita inginkan, dan banyak lagi kekhawatiran lainnya. Khawatir memang sama dengan waspada, membuat kita mengantisipasi berbagai kemungkinan sehingga jadi lebih siap. Sayangnya, tidak semua kekhawatiran kita pada kenyataannya perlu. Apalagi kekhawatiran kita (yang berlebihan) bisa memberi dampak negatif.
Masih cerita yang sama, dunia tempat millennial ini hidup, dunia dengan perkembangan teknologi yang pesat dan berbagai kemudahan sebagai konsekuensinya, pun turut menyiram kekhawatiran dalam benak para millennial. Apa sebab? Perkawinan antara era digital dan era infornasi membuat millennial tahu apa-apa yang (seringkali) tidak perlu kita tahu. Belum lagi era informasi bikin millennial terpapar lebih banyak informasi. Apa menu makan siang teman kita, ke mana mereka liburan, dengan siapa mereka nongkrong, di mana mereka bekerja, siapa bos mereka, semuanya tidak harus kita tahu. Media sosial membuat kita jadi harus tahu semua itu dan mau tidak mau akan membandingkan diri kita dengan orang lain. Membuat kita merasa "kok mereka gitu aku nggak?" dan ujung-ujungnya khawatir kalau kita tidak cukup baik atau tidak cukup keras dalam mengusahakan sesuatu.
Habis itu, tahu banyak orang sukses juga tidak selalu memotivasi millenial. Apalagi tahu orang itu sukses sejak masih muda. Salah salah, bukan jadi motivasi, mengetahui kesuksesan mereka malah menjadi demotivasi. Bagaimana tidak? Orang-orang yang sukses pada usia belia membuat millenial berpikir "buset, dah! umur segitu aku masih main gundu.". Kalau sudah begitu, ujung-ujungnya kepercayaan diri millenial tergerus habis.
Ada hal lain yang mendukung millenial jadi cenderung lebih banyak khawatir: mie instan. Bukan kebanyakan mecin yang bikin khawatir. Mental instan yang termanifestasi dalam mie itulah sebenarnya penyebab millienial lebih banyak khawatir. Selalu ingin cepat, selalu dapat cepat, membuat millenial berpikir semuanya bisa didapat dengan cepat. Melihat orang sukses, apalagi masih muda, dikiranya mudah. Sekali coba, kemudian gagal, terus enggan melanjutkan, dikiranya berkarya langsung bisa. Jadinya, millenial selalu ingin sukses cepat-cepat dan saat harus menjalani prosesnya tidak kuat. Kita jadi sering lupa dan jarang ingat kalau setiap kesuksesan itu ada perjuangan di baliknya. Kalau mereka yang sukses juga melewati berbagai proses. Meskipun sering kali kita terpaku hanya pada yang terlihat.
Jika sudah akut, kombinasi kebanyakan khawatir dan mental instan ini akan membuat kita jadi orang yang waktunya habis untuk memikikan kekhawatiran kita dan memimpikan kesuksesan orang lain. Bilang tidak cocok menggeluti satu bidang padahal belum pernah mencoba. Takut berkarya karena khawatir dihina. Ingin jadi vlogger terkenal tapi waktunya habis nonton channel orang daripada buat vlog-nya sendiri. Mau punya banyak followers di Instagram tapi malas belajar VSCO dan buat caption. Harapannya jadi CEO dan Founder tapi ada pekerjaan ditunda-tunda. Semuanya mentok di mimpi dan niat belaka.
Buat saya, butuh hampir sepuluh purnama untuk menyadari itu. Butuh sepuluh purnama untuk saya keluar dari berbagai kekhawatiran khas millenial, menyadari bahwa gagal mencoba itu biasa, mengakui diri ini banyak beralasan, meyakini kesuksesan harus melewati proses, dan menerima kenyataan kalau setiap orang punya jalan dan waktu suksesnya sendiri. Pada purnama kesepuluh itulah saya berjanji akan berhenti khawatir dan mulai mengerjakan mimpi saya. Karena hanya kita sendiri (dan Tuhan - jika kamu percaya) yang bisa menentukan kesuksesan kita.
Saya percaya, gagal ketika mencoba lebih baik daripada menyesal tidak pernah mencoba. Menemukan ketidakcocokan lebih baik daripada hanya menebak-nebak dari alam pikiran. Mengerjakan dan menyelesaikan sesuatu membawa lebih pasti membawa kita pada impian daripada hanya memimpikannya.
Semoga kamu juga begitu.
Banyak orang yang ingin jadi bagian dari hal besar,
tapi usahanya kecil.
Banyak orang yang punya cita-cita,
tapi memilih menjadikannya lamunan daripada tindakan.
Banyak orang mengharapkan kesuksesan,
tapi memilih beralasan daripada menawarkan solusi.Jadi, masih mau jadi kebanyakan orang?
0 komentar: