Don't Promise Something You Can't Finish
Selamat! Anda berhasil kembali menulis.
Ucapan itu bukan buat kamu yang baca, kok. Itu buat
saya yang terakhir kali nulis di blog ini bulan Oktober lalu. Udah lama ya?
Emang. Lama banget malah. Hehehe..
Bukan karena sok anti-mainstream,
melainkan karena emang telat aja, saya nulis sesuatu tentang tahun baru tidak
pada waktunya. Yup! Hal yang identik dengan Tahun Baru, selain kembang api dan
gajian (mungkin) adalah resolusi. Karena emang momen-nya 'pas' buat memulai
hidup baru, kali ya. Biasanya sih orang-orang bikin evaluasi tentang apa aja
yang udah dilakukan selama satu tahun dan bikin solusi untuk memperbaiki yang
kurang pada tahun yang akan datang. Bagus kan? Bagus sih, asal jangan nikah
tiap tahun aja mentang-mentang orang nikah biasanya diselamatin pake
"Selamat Menempuh Hidup Baru". Tapi, boleh juga kok kalau emang mau
nikah, kaya orang tua saya yang nikahnya bulan Januari.
Nah, sesuai dengan definisinya, resolusi itu biasanya
dibuat jadi daftar apa aja yang bakal dilakukan atau diperbaiki. Misalnya,
bikin resolusi untuk bangun lebih pagi (yang biasanya gagal di hari pertama
karena ikut tahun baruan), lari pagi seminggu sekali (sambil cari jodoh), makan
tiga kali sehari (anak kosan banget), lupain mantan (no offense), atau
bisa jadi memperpanjang resolusi yang hampir habis masa berlakunya. Semuanya
sah-sah aja, asal tidak melanggar hukum dan mencuri uang rakyat. Toh setiap
orang punya kebutuhan yang berbeda.
Tahun lalu buat saya pribadi adalah tahun belajar.
Belajar banyak hal baru, tepatnya. Beberapa pencapaian selama satu tahun
kemarin pun rasanya bonus dari proses belajar yang dilakukan.
Belajar menulis ilmiah lewat LIMAS FISIP UI, PKM GT
yang dikerjain bareng Kak Azira dan Murrin diapresiasi medali perak. Dari sana,
saya belajar inspirasi itu bisa datang dari mana aja, bahkan dari seorang sopir
taksi sekalipun. Selain itu, belajar presentasi dengan waktu yang sangat
singkat (10 menit), padahal pembicaranya ada tiga. Mau gak mau sebagian materi
harus dihafal dan dicoba dulu biar gak kelewatan waktunya. Belum lagi harus
melawan rasa grogi karena pengujinya dosen-dosen berprestasi.
Belajar debat bahasa Inggris, setelah cuma bisa
terbata-bata saat satu tim dengan Aisyah di National Newbie Debating
Championship, bisa sampai jadi octofinalist
di Gadjah Mada Debating Tournament bareng Hans dan Oka. Selalu kebayang
keseruan selama lomba kalau ingat ini. Pergi jauh bareng teman-teman itu selalu
menyenangkan. Belum lagi cerita-cerita lucu yang tercipta selama lomba. Kalau
diingat-ingat, dulu tuh rasanya malu banget waktu pertama kali ikut lomba. Udah
ngomongnya gak jelas karena kebanyakan jedanya waktu ngomong, isinya juga
sedikit banget, sampai-sampai waktu bicara yang tujuh menit itu jarang
digunakan sepenuhnya. Namun, berkat itu, ada motivasi tambahan untuk
berkembang. Pada lomba selanjutnya, ada peningkatan dari berbagai aspek. Saya
bisa lebih percaya diri dan (agak) offensive
saat menyampaikan speech. Terus juga
argumennya lebih rapi dan jelas. Ada lagi yang berkesan itu waktu kita dipuji
juri dan dibilang debatnya inspiring.
Wah! Itu rasanya senang gak ketolong deh. Pelajaran lainnya adalah tentang
menjaga emosi, pentingnya mendengarkan teman satu tim, dan saling mendukung.
Soalnya, tim kita tuh kalah salahsatunya karena kita berantem di debat terakhir
dan gak kompak. Huft.
With EDS UI on GMDT |
Oh iya, tahun lalu tuh saya ikut juga seleksi untuk
jadi delegasi UI di The European International Model United Nations. Setelah
ikut beberapa tahap yang lumayan ketat dengan saingan yang juga
veteran-veteran, akhirnya bisa jadi bagian dari UI TEIMUN Team. Ini tuh
tantangannya besar. Sejak tiga tahun lalu, delegasi UI selalu berhasil bawa
pulang penghargaan dari kompetisi ini. Semacam tanggung jawab untuk delegasi
kita melanjutkan tradisi juara. Padahal, saya masih ingat waktu wawancara saya
bilang salahsatu motivasi saya itu biar bisa menjejak Eropa sebelum nantinya
melanjutkan kuliah di sana. Amin.
Tahun lalu juga punya kenangan penting karena pertama
kalinya ke luar negeri. Agak gimana gitu, ya, tapi emang pengalaman berharga
sih ke Jepang kemarin itu. Pertama kalinya ikut konferensi internasional dan
melihat langsung kebudayaan dari berbagai negara. Sekarang jadi punya teman
internasional, cuy. Keren gitu deh kalau buka facebook ada status yang saya gak
ngerti artinya. Wajar lah, soalnya itu kalau gak bahasa Jepang, Israel,
Vietnam, atau Filipina. Pelajarannya adalah bahwa peluang ke luar negeri tuh
banyak, kok. Selain itu, kita juga gak kalah pintar sama orang-orang dari
negara maju. Setahu saya sih, bedanya mereka itu pendidikannya lebih spesifik
sehingga mereka punya spesialiasi terhadap bidang-bidang tertentu. Kalau kita
kan agak kurang fokus, ya. Pelajaran di Sekolah Dasar aja bisa belasan
jumlahnya.
Table 4 ISC 59 - Gender Equality! |
Kalau sebelumnya tentang pencapaian, sekarang tentang
kegagalan. Namanya hidup, pasti ada suka dan dukanya dong. Sama kaya TV, hidup
juga gak menarik kalau hanya satu warna. Lagipula, sebenarnya kegagalan juga
yang membuat saya ingin menulis ini.
Tahun lalu, saya juga belajar dari kehilangan. Mulai
dari kehilangan barang sampai kehilangan kepercayaan diri.
Ternyata, bro, barang itu memang lebih berharga
setelah hilang. Sesuatu yang biasanya kita anggap remeh keberadaannya baru
terasa pentingnya saat udah hilang. Saya kehilangan seperangkat alat kuliah
pertengahan tahun lalu. Satu paket tas berisi laptop, hp, dompet, modem dan
sanak keluarganya raib dalam hitungan menit. Itu bukan sulap, lho, soalnya
setelah hilang gak bisa kembali. Setelah hilang, baru tuh terasa susahnya kalau
barang-barang itu gak ada di samping saya. Ribet pula kalau hilang dompet tuh.
Kan jadinya harus bikin ulang SIM, KTP, KTM, kartu ATM, dan foto pacar. Apalagi
waktu itu yang hilang e-KTP. Baru sehari diambil dari Pak RT tuh, bro. Nyesek.
Kabar baiknya, yang hilang bukan pendamping hidup. Hahahaha~
Tapi, dari semua itu, entah kenapa yang paling saya
sesali adalah mengecewakan orang-orang yang percaya kepada saya. Setahun
kemarin itu rasanya banyak sekali saya mengecewakan orang-orang yang berharap
banyak dari saya. Mungkin harapan mereka terlalu tinggi, atau mungkin saya yang
memang tidak bisa memenuhinya. Saya belajar bahwa kita harus berhati-hati
dengan ekspektasi orang lain. Bisa jadi kita terlalu diharapkan lebih dari
kemampuan kita. Selain itu juga harus hati-hati dengan perasaan mereka yang bekerja
dengan kita. Saya pikir semua orang sama, akan sulit percaya lagi jika pernah
merasa dikecewakan. Sejujurnya itu juga yang sangat saya takutkan. Saya takut
orang lain menjadi enggan bekerja kembali dengan saya karena pernah mendapat
pengalaman buruk. Hal terakhir yang paling bikin saya sedih adalah ketika saya
kecewa dan menyesal tetapi tidak bisa mengekspresikannya. Ketika kita sudah
melakukan suatu kesalahan, tentu ada rasa bersalah karena telah melakukannya.
Cara agar terlepas dari rasa bersalah itu adalah dengan meminta maaf dan
menunjukkan rasa penyesalan. Namun, bagaimana kalau tidak bisa melakukan itu?
Muka saya yang datar ini sering bikin ekspresi yang salah. Gak jarang pesan
yang ingin saya sampaikan malah melenceng dari yang diharapkan. Bayangkan kalau
kamu nonton film drama yang sedih, tapi gak bisa nangis. Begitu lah kira-kira
rasanya. Sesak di dada.
Banyak yang bilang saya gak peka. Ada benarnya.
Bahkan, sekarang, ini jadi bagian dari salahsatu resolusi terbesar saya tahun
ini. Ingin aja gitu bisa tahu apa yang orang lain butuhkan dan inginkan dari
saya. Ingin bisa jadi tempat cerita orang-orang. Ingin jadi orang yang bisa
bersimpati dan berekspresi yang tepat di setiap situasi. Pokoknya peka deh.
Sebenarnya ini juga demi masa depan yang lebih baik. Saya pernah dapat wejangan
dari Andi Nata. Katanya, kalau mau jadi wirausaha itu harus peka. Peka sama
lingkungan dan peka sama orang-orang sekitar. Dengan begitu, kita bisa tahu apa
yang dibutuhkan dan bisa juga menyediakannya.
Sebenarnya banyak sih resolusi buat tahun ini.
Pastinya sama juga kaya semua orang, ingin jadi pribadi yang lebih baik. Ilman
pengen jadi lebih ramah, lebih soleh, lebih berprestasi, dan lebih sehat, dan
lebih bermanfaat. Bantu Ilman, Ya Allah. Amin.
“Don’t promise something you can’t finish.” - Ilman Dzikri -
~Lesson learned~
0 komentar: