We Should Call Him Mr. Tarnedi

01:38 1 Comments

Shalom, 

Malam. Ditemani sepi dan pikiran yang menyanyi. Menanti untaian kata lahir dari jemari yang menari. Di atas tuts huruf ini pujangga beraksi.

Inilah cara menikmati malam buat saya. Berbicara dengan pikiran sendiri sambil ditemani bisikan angin malam, ocehan jangkrik, dan detak jarum jam yang tak pernah berhenti mengejar setiap manusia. Saya rasa itulah alasan mengapa Tuhan ciptakan malam. Ia ciptakan sebagai waktu untuk manusia berdialog dengan dirinya dan pikirannya sendiri yang pada siang hari sering kali sulit terdengar akibat hiruk pikuk dunia. Ketahuilah Tuhan, saya bersyukur atas malam yang selalu Kau berikan setiap harinya. Dengan pemberian-Mu ini, saya bisa tidur dan berkontemplasi.

Sekarang emang agak susah gitu punya waktu santai sendiri kaya gini. Setelah kemarin bersibuk-sibuk ria menyiapkan dan akhirnya menyelesaikan Malam Balas Jasa, sekarang bisa lebih tenang karena udah ga punya utang lagi. Sedikit informasi, Malam Balas Jasa itu semacam budaya di jurusan saya untuk lebih mengakrabkan angkatan mahasiswa baru dengan seniornya, terutama angkatan senior yang meng-ospek-nya. Selain itu, acara ini juga sesuai namanya, adalah sebuah bentuk penghargaan dan terima kasih atas kebaikan senior yang mengajarkan kita cara bergaul di jurusan, mengurus hal akademik dan non-akademik, sampai ngasih tau cara mengerjakan tugas-tugas yang akan kita kerjakan nantinya. Alhamdulillah kemarin acaranya berjalan cukup baik dan memuaskan. Walaupun, menurut saya, angkatan saya bisa membuat acara yang lebih dari itu. Tapi, kemarin adalah yang terbaik yang bisa dilaksanakan dengan segala keterbatasan dan kendala yang menghadang. Kita senang, kakak-kakak senior juga senang. Rasanya itu sebuah keberhasilan.

Ada cerita yang menarik untuk dibagi ketika saya pulang dari tempat acara MBJ di Cibubur, kemarin. Karena semua kendaraan udah kembali ke FISIP siang itu, saya dan tiga kawan saya, Haekal, Dian, Amy, memutuskan pulang dengan taksi. Ketika semua udah naik, di kursi belakang, saya cek barang-barang terakhir kali, lalu masuk ke kursi penumpang bagian depan. Begitu masuk, saya kaget mendengar sebuah sapaan. Kira-kira bunyinya kaya gini, "Good afternoon, Sir. Where is our destination?". Sambil menenangkan diri, saya jawab, "We are going to UI.". Secepat elang yang sering muncul di layar kaca Indo*siar, supir taksi yang bertanggung jawab atas dialog di atas itu menjawab, "Okay! Please tell me the direction, Sir.".

Di belakang jok supir
Masih setengah sadar, saya cermati orang yang ngajak ngobrol saya itu. Dia bukan bule. Dari wajahnya saya yakin banget dia orang Indonesia tulen. Kulit sawo matang menjelang busuk (coklat), kulit mulai keriput, dan rambut yang sudah mulai meninggalkan dunia hitam. Saya yakin dia orang Indonesia. Belakangan, saya tau nama beliau Tarnedi, berusia 54 tahun. Dalam bahasa Inggris, dengan semangat, meskipun beberapa pengucapannya (pronounciation) perlu dikoreksi, dia bercerita dengan bangga bahwa dialah satu-satunya supir taksi di Jakarta yang bisa berbicara dalam bahasa Inggris. Menurut pengakuannya, ini adalah inisiatifnya untuk menggunakan bahasa Inggris. Beliau berpikir jauh ke depan, 10 tahun lagi semua supir taksi di Jakarta harus bisa bahasa Inggris untuk bertahan dalam persaingan pekerjaan. Karena itu, dia memulainya sekarang. Bahkan, dia mengingatkan saya untuk belajar bahasa asing lebih baik darinya. "Kalau supir taksi aja nanti harus bisa bahasa asing, apalagi yang kerja di office (maksudnya kantoran), Mas.", begitu pesan beliau.

Penampakan Pak Tarnedi
Alasan Pak Tarnedi belajar Bahasa Inggris
Saya ga pernah melihat orang setua Pak Tarnedi yang punya semangat belajar luar biasa seperti beliau. Setelah mengobrol lebih banyak (tentu dalam bahasa Inggris), saya tau kalau beliau ini berasal dari Indramayu, sekarang tinggal di Jati Kramat bersama istri, kedua anaknya, dan seorang cucu perempuan. Dari obrolan itu juga, beliau memberi tau saya bahwa beliau bahkan ngga sampai lulus sekolah dasar. Beliau baru aja belajar ngomong bahasa Inggris selama setahun. Tapi menurut saya, vocabulary beliau sudah sangat banyak untuk daily conversation. Meskipun, kita mungkin akan sedikit bingung ketika mendengar beberapa pronounciation beliau yang perlu dikoreksi. Apalagi terkadang huruf 'f' dan 'v' yang sering berubah menjadi 'p' khas orang Indonesia. Jika inti dari komunikasi adalah pesan mampu disampaikan pada lawan bicara dan dipahami, Pak Tarnedi sudah menguasai komunikasi dalam bahasa Inggris. Keinginan beliau belajar bahasa asing sendiri muncul ketika beliau mengerti kata pertamanya, 'meeting', dari para penumpangnya yang sibuk membahas rapat di kantor mereka. Semangat beliau terpicu ketika dia mendapat penumpang bule yang memintanya menunggu, namun beliau tolak karena dikiranya 'waiting' yang diucapkan penumpang itu adalah 'meeting'. Sejak kesalahan itulah, beliau belajar bahasa Inggris meskipun banyak orang dan teman-temannya mencibir dengan mengatakan beliau gila, sok pintar, atau bahkan sombong. Metode belajarnya pun sangat simpel dan unik. Beliau belajar dengan cara asal bicara menggunakan bahasa Inggris yang diketahuinya, lalu membiarkan penumpangnya mengoreksi dan memberitahukan cara bicara yang seharusnya. Dengan begitu, semakin lama kosa kata beliau pun bertambah dengan sendirinya. Ditambah lagi beliau selalu mengaplikasikan apa yang dipelajarinya dalam percakapan sehari-hari sehingga tidak pernah lupa. Ada sebuah kalimat yang sangat bagus yang beliau katakan.

"I have no education. I have no experience. I have only courage." - Mr. Tarnedi

Setelah belajar berbicara, beliau kini sangat ingin belajar menulis dalam bahasa Inggris. Karena beliau belajar pengucapan saja, beliau tidak tahu banyak tentang spelling apalagi grammar. Namun, keinginan kuat beliau sungguh luar biasa. Beliau mulai menulis sesuatu sebisa beliau. Cita-cita beliau menulis buku dalam bahasa Inggris dimulainya dari selembar kertas coretannya yang ditunjukkan pada kami. Beliau bahkan bertanya pada kami tips belajar menulis. Agak sulit memang memberi saran cara belajar menulis karena banyak sekali yang harus dipelajari dalam aspek menulis. Akhirnya, saya memberi saran kepada beliau untuk terus menulis sebisanya, lalu meminta penumpangnya mengoreksi tulisan beliau. Hal ini karena beliau sempat ingin berhenti menulis akibat merasa tulisannya ga nyambung. Di samping itu, beliau yang belajar sambil bekerja, ga punya banyak waktu untuk membaca apalagi membuka internet untuk belajar menulis. Saya memberi usul dengan cara yang sama dengan cara beliau belajar berbicara. 

Coret-coretan sekaligus tulisan pertama Pak Tarnedi
Pak Tarnedi ini bener-bener bikin saya tersentuh dan termenung. Sungguh beliau adalah sebuah inspirasi. Kata-kata beliau bahwa 10 tahun lagi persaingan semakin ketat, mengingatkan saya akan nasehat ayah saya sendiri ketika saya masih SMA. Ayah pernah mengingatkan saya bahwa di masa yang akan datang, persaingan yang saya akan hadapi adalah persaingan global. Pada masa itu, saya harus bersaing tidak saja dengan sesama warga Indonesia, tetapi juga dengan masyarakat global, yaitu masyarakat internasional. Ayah bahkan memberikan contoh ekstrem bahwa bisa saja nanti supir taksi di sini adalah orang Thailand, supir angkot orang Vietnam, dan tukang becak orang Filipina. Dengan semakin mudahnya masyarakat internasional berpindah, maka kemungkinan itu tidak lagi mustahil. Pada intinya, beliau ingin menekankan bahwa jika dengan sesama orang Indonesia saja saya ga bisa bersaing, saya bakal ketinggalan di tataran global. 

Selanjutnya, Pak Tarnedi juga mengingatkan saya akan kehidupan saya di masa kini. Ketika setahun ke belakang beliau mulai bahasa Inggris, semester ini pun saya punya 3 SKS mata kuliah MPK Bahasa Inggris. Saya bersyukur mendapat dosen yang tidak menekankan hanya teori, tetapi juga mengajak seluruh mahasiswanya untuk aktif mempraktikannya baik di kelas maupun di luar kelas. Dosen saya selalu mengajak mahasiswanya berinteraksi dengan hal-hal santai sehingga mahasiswa lebih berani dan terbiasa berbicara dalam bahasa Inggris. Dosen saya meyakinkan kelasnya bahwa inti belajar bahasa Inggris adalah selalu mempraktikannya di manapun kita berada. Pak Tarnedi membuktikan itu pada saya. Hanya dalam setahun saja, tanpa guru dan buku, beliau mampu menguasai percakapan sehari-hari dalam bahasa Inggris. Saya sendiri agak malu ketika saya sadari, cara Pak Tarnedi mengajak saya mengobrol dalam bahasa Inggris lebih mengalir daripada saya sendiri. Pak Tarnedi terbiasa menggunakan kalimat-kalimat itu, sedangkan saya yang jarang menggunakannya di keseharian, bahkan butuh beberapa detik untuk menyusun kalimat yang saya rasa tepat untuk membangun percakapan. Semakin malu ketika saya melihat di tempat yang katanya World Class University masih ada mahasiswanya yang bahasa Inggris-nya aja kalah oleh Pak Tarnedi. Bahkan, ketika universitas memberi fasilitas berupa mata kuliah bahasa Inggris, masih ada saja yang mengikutinya ogah-ogahan dan tidak peduli. Seakan-akan dia udah pintar, padahal saya tau dia ngga. Jika saja mereka tau, di luar sana ada seorang yang bahkan tidak lulus sekolah dasar sangat ingin diajari menulis dalam bahasa Inggris, mereka pasti akan sangat malu. Mereka seharusnya bersyukur bahwa mereka punya semua fasilitas yang mereka butuhkan untuk belajar bahasa Inggris. Mereka seharusnya menggunakan kesempatan yang sangat baik itu untuk belajar sebaik mungkin. Andaikan. Andai saja mereka tau.

Di akhir pertemuan kami, ketika taksi sudah sampai di FISIP, saya ingat Pak Tarnedi berterima kasih atas saran kami untuk beliau belajar menulis. Beliau mengatakan sangat senang bisa bertemu kami yang lebih muda. Membuatnya tidak merasa sendirian dalam belajar karena semangatnya sama dengan kami, bahkan lebih. Sebelum berpisah, Pak Tarnedi dengan tulus berkata, "Nice to meet you, Sir. I hope to see you again. Thank you and take care."

Sebelum berpisah di FISIP UI
Sungguh, inspirasi itu ada di sekitar kita jika kita menyadarinya. Terima kasih, Pak Tarnedi sudah memberi inspirasi. Semoga semangat Bapak dalam belajar menginspirasi, menambah semangat, dan menulari semua kaula muda yang membaca tulisan dan cerita saya ini. Amin.

*NB : Dialog Pak Tarnedi yang saya tulis bersifat kontekstual sesuai ingatan saya dan beberapa tidak sama persis dengan kalimat yang diucapkan beliau.

Ilman Dzikri

Some say he’s half man half fish, others say he’s more of a seventy/thirty split. Either way he’s a fishy bastard.

1 comment:

  1. Ilman harus lihat ini, dia dibahas sama detik.com juga! http://news.detik.com/read/2013/12/11/182208/2439300/10/1/tarnedi-belajar-bahasa-inggris-karena-insiden-waiting-dan-meeting

    ReplyDelete