Pagi itu udara cukup dingin sesuai dengan langit yang tengah mendung. Kampus UI masih sunyi karena aktivitas kuliah belum lagi mulai. Tepat pukul 6 pagi, Rizky dan Murrin sudah siap di depan halte FT UI dengan tas masing-masing. Melihat baru dua orang yang berkumpul, Murrin mengeluarkan ponselnya untuk mengingatkan teman-teman lainnya. Sambil menunggu, Murrin kemudian memutuskan menjemputku, Ilman, untuk membawa tenda yang sehari sebelumnya telah kami sewa untuk perjalanan ini. Tidak perlu waktu lama, saya bersama Murrin sudah tiba di halte. Beberapa menit berselang, Faiz datang, lalu kemudian disusul Haekal. Obrolan ringan pun terjadi selagi kami menunggu Marcus. Sekitar setengah jam kami menunggu, akhirnya sebuah mobil hitam berhenti di depan halte dengan Marcus di dalamnya. Tanpa banyak bicara, semua langsung mengatur barang bawaan agar tersedia cukup tempat untuk kami berenam. Perjalanan pun dimulai.
Gerimis menemani kami ketika kami melaju di Tol Jagorawi. Tangisan awan itu sepertinya mewakili perasaan mahasiswa lain yang masih harus menyelesaikan ujian mereka saat kami sibuk berlibur. Jalanan menuju luar kota tidak terlalu ramai, berhubung saat itu hari Senin. Para pekerja pastilah sedang menuju Jakarta ketika kami menuju luar kota. Di belakang kemudi, Marcus menyetir dengan santai. Di sebelahnya, saya menjadi navigator dengan modal aplikasi Google Map dari ponsel android. Sisanya menikmati perjalanan sambil sesekali memakan camilan yang kita bawa. Keluar dari tol, perjalanan sempat terhambat akibat ramainya kendaraan di Ciawi, ditambah jalan yang menyempit karena pasar yang tumpah ke jalan. Sambil menunggu, kami memutuskan untuk sarapan di KFC yang bersebelahan dengan SPBU. Selesai sarapan, Murrin mengambil alih kemudi dan perjalanan pun dilanjutkan. Setelah melewati pasar, jalanan ternyata cukup lancar. Pemberhentian selanjutnya adalah Palabuhan Ratu. Untuk mencapainya, kita harus melewati jalanan yang menanjak dan penuh tikungan tajam. Hal yang paling menegangkan adalah ketika kita berpapasan dengan truk di tikungan tajam yang bersatu dengan turunan curam. Untunglah Murrin yang sudah biasa dengan kerasnya jalur lintas Sumatera bisa menanganinya.
|
Pengemudi Utama |
|
Penumpang Setia |
Kelelahan setelah lima jam perjalanan sedikit terobati saat kita mencapai Palabuhan Ratu. Sesuai rencana kita memutuskan untuk makan di pinggir pantai. Debur ombak dan terpaan angin pantai menemani kami menunggu makanan. Siang itu, tuna dan cumi bakar memenuhi perut kami semua. Benar yang dikatakan penjaga warung di sana. Suasana pantai membuat orang lapar. Perut sudah terisi, kami pun meneruskan perjalanan, karena tujuan kita adalah Sawarna, bukan Palabuhan Ratu. Namun, sebelum itu, kita mengunjungi tempat pelelangan ikan untuk membeli ikan segar yang bisa kami bakar di tempat tujuan. Ketika kita belanja di sana, sadarlah kita bahwa makan siang kita terlalu mahal karena penjaga warung menaikkan harga ikannya terlalu tinggi. Andai saja kita beli ikan lalu minta dibakarkan di warung, pastilah bisa lebih murah. Dari tempat pelelangan, kami mendapatkan ikan kerapu, tuna, kakap merah, dan cumi untuk perbekalan. Kini saatnya menuju tujuan sebenarnya.
|
Sampai di Palabuhan Ratu |
|
Geng Saku |
|
Menu Makan Siang |
Di antara kami berenam, hanya tiga orang yang bisa mengendarai mobil, yaitu Marcus, Murrin, dan saya. Di antara kami bertiga, saya adalah orang yang baru bisa mengendarai mobil setelah kuliah. Sedangkan Marcus dan Murrin, keduanya bisa dikatakan sudah mahir sejak SMA. Sore itu, giliran saya yang bertugas di balik kemudi berhubung Murrin sudah menyetir sejak pagi dan Marcus bilang dia agak pusing. Suasana tenang tiba-tiba berubah saat kita akan keluar tempat pelelangan. Jalan keluar tempat itu tidak cukup lebar untuk dua mobil, dengan kios-kios pedagang di kanan dan kiri jalan, juga jalan yang menanjak. Saat kami ingin keluar, tiba-tiba ada mobil yang memaksa masuk. Sebagai orang yang baru dapat SIM, kondisi ini sangat mengerikan buat saya. Kalian yang pernah belajar mobil kopling tentu saja tahu bahwa kondisi tersebut membutuhkan ketenangan pengendalian kopling. Berkat kepercayaan teman-teman yang lain, saya akhirnya bisa keluar dari kondisi itu dengan panik. Ya, panik karena saat saya berusaha keluar, mesin mobil sempat mati dan mobil mundur sedikit. Maklum lah, masih grogi waktu itu. Selanjutnya, saya harus sedikit mengebut karena berusaha sampai pantai sebelum gelap untuk mendirikan tenda. Mendekati tujuan, jalanan kembali penuh tanjakan dan tikungan tajam. Kemudi pun saya berikan pada Marcus yang sudah cukup istirahat. Ternyata memang benar bahwa sesuatu yang berharga itu ada di belakang hambatan dan tantangan. Setelah melewati jalanan terjal, kami menemukan Pantai Sawarna.
Entah mengapa disebut Sawarna. Sawarna adalah bahasa Sunda yang berarti sewarna atau satu warna. Padahal, di pantai ini beragam warna bercampur dalam lukisan alam yang indah. Pasir pantai yang halus berwarna putih membentang bertemu lautan luas dengan degradasi warna biru, dibatasi bukit-bukit hijau, dan dipayungi langit berwarna biru muda dengan awan di sana sini. Ketika senja datang, merah, kuning, dan jingga menghiasi langit. Bahkan, pelangi pun bisa muncul di langit Sawarna.
Setibanya di pantai, kita tidak punya banyak waktu bersantai dan harus cepat mendirikan tenda karena berlomba dengan datangnya malam. Ketika akan mendirikan tenda, kita agak bingung akan mendirikan tenda di mana. Awalnya, kita ingin cari tempat yang cukup sepi. Beruntung seorang warga pemilik warung di sana memberi 'saran'.
"Man, bikin tendanya di deket muara aja.", usul Murrin.
"Jangan di sana, Dek, kemaren-kemaren ada yang kemping di sana terus hanyut waktu air pasang.", kata Penjaga Warung.
"Mur, sebelah Timur aja kita bikin tendanya..", usul saya ke Murrin.
"Jangan di sana, Dek, baru-baru ini ada yang tenggelam karena main air di sana terus ga ketolong karena ga ada yang tau.", lagi-lagi Penjaga Warung memberi 'saran'.
"Ya udah Mur, di sini aja deh, deket warung biar aman.", akhirnya saya menyerah dan mengikuti saran penjaga warung di sana.
Tenda selesai tepat sebelum malam menjelang. Dua tenda dipakai sebagai tempat tidur, sedangkan satu lagi sebagai tenda barang. Sebelum makan, kami mandi dan shalat bergantian. Makan malam pertama kami adalah tuna bakar yang tidak habis siang tadi di Palabuhan Ratu. Acara malam itu dilanjutkan dengan sesi 'ngopcur' alias minum kopi sambil curhat. Tidak lengkap berkemah tanpa api unggun. Karena itu, saya membuat api unggun dari kayu bakar yang kami beli dari pemilik warung. Menyenangkan sekali bisa mengobrol dengan teman-teman di bawah langit gelap, beralaskan pasir pantai, ditemani kopi panas dan hangatnya api unggun. Selama sesi 'ngopcur' ini, banyak cerita dan rahasia yang terkuak dan membuat kami lebih akrab.
|
Lomba Diri Tenda |
|
Berpacu dengan Waktu |
|
Menyalakan Api dengan Napas Naga |
|
Resmi Berkemah Setelah Ada Api Unggun |
|
Menikmati Malam |
Sedang hangat-hangatnya kami mengobrol sambil memanggang sosis, tiba-tiba kami merasa ada yang datang. Wujudnya tidak terlihat, namun kami semua bisa merasakan kehadirannya dengan jelas. Itu adalah angin pantai yang sebelumnya mengarah ke laut dan tiba-tiba berbalik menuju pantai. Titik-titik air menyertai angin yang sangat kencang ini. Kami semua masuk ke tenda untuk menyelamatkan diri dan sosis panggang kami. Hujan turun disertai angin kencang yang hampir menerbangkan tenda kami. Kalau saja kami tidak berada di dalamnya, sudah pasti seluruh tenda terbang ditiup angin badai ini. Sekitar lima belas menit kami terjebak di dalam tenda. Air hujan masuk ke dalam tenda dan kami yang ketakutan sekaligus senang berdoa agar badai segera berlalu. Setelah reda, kami mendengar suara yang memanggil kami. Semakin lama semakin dekat. Ternyata itu pemilik warung yang menyarankan kami pindah ke depan warungnya agar lebih aman dan mudah ditolong jika terjadi sesuatu. Mengingat badai yang baru terjadi itu sangat mengejutkan kami, saran pemilik warung kami turuti. Tenda yang kemasukan air tidak mungkin dipakai tidur. Akhirnya malam itu kami tidur di saung pemilik warung. Malam itu ada kejadian aneh. Saya merasa saung tempat kami tidur bergoyang. Ketika saya mau bertanya pada Murrin yang tidur di sebelah saya, dia setengah sadar berkata, "Man, tidurnya jangan goyang-goyang dong!". Ternyata, keesokan harinya kita baru tahu kalau semalam itu ada gempa di Banten. Kalau semalam ada tsunami, matilah kita semua karena semua pada tidur.
Dini hari, saya dan Murrin bangun karena sulit tidur. Daripada menganggur, kami berdua berusaha kembali menyalakan api unggun yang sebelumnya padam karena badai. Dengan usaha gigih, kayu yang lembab sedikit-sedikit mulai kering dan api pun menyala kembali. Menjelang shubuh, langit yang sebelumnya gelap tertutup awan kini menjadi cerah dan menampakkan bintang-bintang. Saya, Murrin, dan Faiz yang kemudian bergabung, berbaring di samping api unggun sambil menonton bintang yang gemerlapan di langit. Tidak terasa, pagi pun menyingsing. Seusai shalat shubuh, saya menyiapkan bara api sisa api unggun untuk memasak. Menu pagi itu adalah kerapu, kakap merah, dan cumi yang semuanya dibakar sendiri. Pembagian kerja untuk sarapan terdiri dari Faiz dan Murrin mencari nasi, Ilman dan Haekal bakar ikan, sedangkan Marcus dan Rizky menyiapkan tempat makan. Pukul 7 pagi kita sarapan ditemani hangatnya mentari, deburan ombak yang tenang, dan anjing liar yang berkeliaran di sekitar kita. Daging ikan yang paling enak teksturna adalah ikan kerapu. Sedangkan yang paling enak rasanya adalah ikan kakap merah. Mantap!
|
Meracik Bumbu |
|
"Apa Lu liat-liat, njing!?" |
|
"Sial! Ketauan deh" |
|
Selamat Makan! |
Selesai sarapan, barulah kita menikmati indahnya Sawarna. Pertama, kita main air di pinggir pantai. Sawarna yang merupakan pantai selatan punya karakteristik ombak yang besar. Jadi, melihat ombak yang tinggi-tinggi, yang lebih cocok untuk
surfing, tidak ada satupun yang mau berenang. Ditambah lagi cerita pemilik warung tentang orang yang tenggelam karena berenang. Semakin ciut lah nyali kami jadinya. Puas main di pinggir pantai dan nonton beberapa orang
surfing di sana, kami memutuskan pergi ke Tanjung Layar. Jaraknya sekitar 1,5 km dari tempat kami berkemah. Disebut Tanjung Layar karena di sana ada karang yang berbentuk seperti layar. Nah, Tanjung Layar ini ternyata dikelilingi karang-karang tinggi yang membuat ombak di sana lebih tenang. Selain itu juga saat kami datang, airnya mulai surut. Barulah kami bisa bermain air sesungguhnya di sana. Ketika surut, kita bisa lihat dasar laut di sekitar Tanjung Layar saking jernihnya air laut di sana. Karena cuma bisa main air di sana, kecuali Rizky yang lebih memilih mengambil foto kami semua. Sedangkan yang lain bermain sampai puas dan kelelahan. Setelah lemas, baru kita mau kembali ke kemah tepat saat matahari di atas kepala. Sampai kemah, kita masak mie instan untuk mengganjal perut dan juga sebagian membeli kelapa muda untuk menghilangkan dahaga. Siang itu, matahari cukup terik dan angin bertiup sangat kencang sampai-sampai kita bisa mendengar gemuruhnya. Saking kelelahannya, kami berenam tertidur selama dua jam lebih di saung pada siang itu. Ketika bangun, kami baru tersadar bahwa kulit kami semua terbakar matahari setelah bermain seharian di pantai.
|
Tanjung Layar |
|
Karang Pemecah Gelombang |
|
Bagaikan Benteng |
|
Masih Menunggu Air Surut |
|
Duo Galau |
|
Mulai Main Air |
|
Berenang Sebrangi Pulau |
|
Ups! Ketauan Dangkal |
|
Jalan Pulang |
Sore harinya, ketika matahari mulai turun dan cuaca bersahabat, kami pergi ke muara untuk melihat matahari terbenam. Sayangnya, matahari terbenamnya tidak dapat terlihat karena terhalang daratan. Meskipun begitu, kami beruntung karena di muara kami mendapat banyak kayu bakar gratis. Malam terakhir di Sawarna kami habiskan dengan pesta mie instan, mengobrol, dan bermain kartu. Sebelum pergi, memang setiap orang diwajibkan membawa mie instan. Karena itu malam terakhir dan masih banyak mie yang tersisa, kami memasak sebanyak mungkin mie yang ada. Kami makan mie rebus, mie goreng, rasa ayam bawang, rasa kari ayam, rasa rendang, rasa sambal ijo, merk Indomie, merk Mie Sedap, semua kami makan. Bahkan kami tambahkan abon biar semakin greget. Oh ya, ada tiga istilah makanan dalam perjalanan ini yang harus diingat. Kopi banci, nasi goblok, dan 'krenyes'. Pertama, kopi banci. Kopi banci adalah produk bernama
white co*fee yang dibawa Haekal. Kenapa dibilang banci? Karena rasa dan aroma kopinya tidak terasa sama sekali. Berhubung Murrin adalah anak juragan kopi di Jambi yang biasa minum kopi hitam pahit, dia menyebut kopi tersebut kopi banci. Kedua, nasi goblok. Nasi goblok adalah nasi yang dikasih pemilik warung secara cuma-cuma dan bingung mau kita apakan. Lalu Haekal dengan ide cemerlangnya mencampur nasi tersebut dengan abon sapi dan banyak bumbu penyedap. Seperti kita tau, bumbu penyedap mengandung MSG yang bisa memengaruhi otak dan menurunkan kecerdasan. Karena itulah disebut nasi goblok. Terakhir, apa yang kita sebut sebagai 'krenyes'. Krenyes ini adalah bumbu utama kita setiap kali makan. Sebagai pria-pria tulen, higienitas makanan adalah nomor dua. Nah, di pantai itu kan kita tidak bisa jauh-jauh dari pasir. Jadi, setiap kali ada pasir yang tidak sengaja masuk ke makanan, kita anggap itu sebagai bumbu pelengkap yang membuat makanan jadi krenyes-krenyes di mulut. Begitulah ceritanya. Sehabis pesta mie instan, sambil menghabiskan sisa bensin kita membuat tulisan api di pasir. Setelah itu kita menuju saung dan bermain kartu. Sebagian yang lelah, termasuk saya, lebih memilih untuk tidur lebih awal.
|
Senja di Sawarna |
|
Menikmati Hembusan Angin Pantai |
|
Merekam Kenangan |
|
Sedang Dimabuk Cinta |
|
Menuju Muara |
|
Matahari Terbenam |
|
Siluet Para Pencari Udang |
|
Lukisan Alam |
|
Mega yang Mewarnai Langit Sawarna |
|
Awan Menggantung |
|
Fotografer Langit |
|
Masak Mie Instan |
|
Menatap dengan Laparnya |
|
Buang-Buang Bensin |
|
BAKAAAAR!!! |
|
Hubungan Internasional Universitas Indonesia |
Pagi hari terakhir di Sawarna semua orang tampaknya tidur nyenyak. Pukul 6 kita semua mandi bergantian dan mengemas semua barang milik kita. Sebelum pulang, kami mendapat salam perpisahan yang luar biasa dari Sawarna. Sebuah pelangi yang membentang dari ujung ke ujung yang membuat kami terpesona. Apalagi sebenarnya di atas pelangi tersebut hampir terbentuk pelangi lagi. Sayangnya hujan turun rintik-rintik menghapus pelangi tersebut. Sebelum kami pergi, kami juga tidak lupa berterima kasih pada pemilik warung yang sejak awal telah sangat ramah dan banyak membantu kami. Kami pun kemudian melanjutkan perjalanan kembali ke Jakarta. Sawarna adalah salahsatu tempat wisata yang memiliki akses masuk dan keluar yang berbeda. Ketika datang, kami menggunakan rute yang melewati Palabuhan Ratu. Sedangkan untuk pulang, kami memilih rute lewat Serang. Perjalanan ini tidak disangka terasa lebih lama daripada yang kami kira. Jalanan yang dilewati pun kembali penuh tanjakan dan turunan curam meskipun tidak sebanyak saat pergi. Namun, tantangan lainnya adalah jalan berlubang yang membuat kami harus hati-hati dan tidak bisa memacu kendaraan. Marcus dan Murrin harus bergantian mengemudi di jalanan rusak ini. Sepanjang jalan yang ada hanya sawah dan rumah penduduk. Bahkan itu pun jarang-jarang. Karena tidak ada rumah makan, kita harus menunggu sampai di Serang untuk makan siang. Sesampainya di Serang, Faiz menjadi pemandu kita. Menghabiskan waktu SMA di Serang, Faiz mengajak kita makan di warung sate yang katanya terkenal. Ternyata sate di sana memang enak, terutama sate bebek yang merupakan ciri khasnya. Selesai makan, perjalanan pulang dilanjutkan kembali. Karena sisa perjalanan sudah merupakan medan kota, kemudi diberikan kepada saya. Dari Serang ke Jakarta itulah untuk pertama kalinya saya mengendarai mobil di jalan tol dengan kecepatan tinggi. Berhubung Jakarta macet, Marcus mengambil alih kemudi setelah sampai Jakarta dan mengantar kita semua kembali ke Depok dengan selamat.
Setiap perjalanan memiliki akhir. Jika menyenangkan, biasanya setelah perjalanan itu berakhir kita akan merasa kesepian karena telah terbiasa dengan kehadiran teman-teman kita. Persis seperti yang saya alami ketika sampai di kosan sepulang dari Sawarna.
Kuliah bukan saja waktu untuk belajar dan berorganisasi. Pada masa ini sebaiknya juga kita mengumpulkan kenang-kenangan untuk dibahas ketika nanti melakukan reuni puluhan tahun setelahnya. Semakin berwarna masa muda kita, semakin menyenangkan untuk di kenang. Selain itu, selama kuliah ataupun di dunia kerja, kita akan selalu butuh bantuan dari teman-teman kita. Karena itu, ada baiknya kita akrab satu sama lain. Jika ingin mengenal temanmu dengan baik, pergilah bersama mereka dalam perjalanan jauh. Selama perjalanan, niscaya kalian bisa melihat sifat asli teman-teman kalian yang sesungguhnya. Satu hal lagi yang tidak kalah penting adalah perjalanan jauh sering kali memberi pengalaman menakjubkan.
aku belum baca ceritanya man,tapi ini perlu banget muji foto fotonya a.s.a.p. hhahah
ReplyDelete*yang langit two thumbs up
ceritanya emang ga terlalu penting ko, yas. hahaha
ReplyDeletefotonya diambil rame-rame jadi ga tau foto mana yang diambil siapa..
oh ya, saya liat foto-foto kamu ke selat sunda.. jadi bingung mana blog yang kamu urus sekarang
salut deh ceritanya detail man.
ReplyDeletedokumenter perjalanan sejati
dua duanya.yang satu untuk curhat gak jelas,yang satu buat kenangan.hhehehe
Bahasanya tapi aneh, Yas. Makasih yaa..
ReplyDeleteSukses terus ya di ITB! Kayanya kamu aktif banget sekarang ;)
Boleh minta cp ga? Saya mau nanya" nih
ReplyDeletevia email aja ya.. mink_lizard@yahoo.com
Deletengakak gue hahahah lumayan baca sebelum kerja review
ReplyDelete