Jurnal Presiden #2 - Leadership 3.0

00:33 0 Comments










"Before you are a leader, success is all about growing yourself. When you become a leader, success is all about growing others." - Jack Welch
Setiap kali mendengar kata laboratorium, yang tergambar dalam pikiran saya adalah ruangan penuh cairan berbahaya dan binatang-binatang, mulai dari serangga sampai mamalia, terkurung dalam tempatnya masing-masing. Di dalamnya, lalu lalang orang berjas putih, menggunakan kacamata pelindung, memakai sarung tangan karet, sedang memegang tabung kaca berisi cairan warna-warni dengan asap mengepul di atasnya. Kalau disingkat, laboratorium selalu terdengar 'keren' di telinga saya. Karena itu juga, setiap kali mendengar ada mahasiswa yang berkata "habis dari laboratorium" atau "ada kerjaan di laboratorium", saya selalu membayangkan mereka ini orang-orang hebat yang sedang berusaha menemukan formula dan penemuan baru, layaknya Thomas Alfa Edison atau Nicholas Tesla. 

Akibat imajinasi tentang laboratorium yang sedikit berlebihan itu, saya sering iri pada mahasiswa ilmu alam yang seringkali punya jadwal kelas di laboratorium. Sebagai mahasiswa ilmu sosial, saya dan teman lain-lainnya tidak punya tempat untuk memakai jas putih, kacamata pelindung, ataupun sarung tangan karet. Kalaupun punya 'laboratorium sosial', tempatnya ya di sekitar kita, bukan ruangan khusus dengan berbagai alat eksperimen sebagaimana umumnya laboratorium. Padahal, saya juga ingin bereksperimen untuk menemukan suatu formula atau penemuan baru seperti ilmuwan-ilmuwan di luar sana.

Rasa penasaran akan pengalaman bereksperimen, digabung dengan tekad yang kuat untuk menemukan formula baru, membuat saya menciptakan laboratorium saya sendiri. 




Kalau para ilmuwan itu menggunakan ruangan sebagai laboratorium, saya menggunakan organisasi. Ketika para ilmuwan menjadikan partikel, cairan kimia, benda, atau hewan sebagai objek eksperimen, saya menjadikan teman-teman, pengurus, dan anggota organisasi saya sebagai objek eksperimen. Menggunakan organisasi sebagai laboratorium dan anggota sebagai objek eksperimen, saya berusaha menemukan formula kepemimpinan yang tepat. Sesuai dengan alasan saya menjadi Presiden ISAFIS. Belajar menjadi pemimpin dan menemukan gaya kepemimpinan yang tepat untuk saya.

Lagipula, ini kesempatan terakhir saya untuk bereksperimen. Kata orang, masa sekolah dan kuliah itu adalah masa-masa di mana kita masih boleh melakukan kesalahan. Selesai itu, harus tanggung sendiri akibat kesalahannya. Menjadi presiden di tahun terakhir kuliah berarti kesempatan terakhir saya bereskperimen tanpa perlu terlalu takut gagal. Setidaknya, kalaupun saya tidak menemukan jawaban atas apa yang harus saya lakukan, saya akan dapat jawaban atas apa yang tidak boleh saya lakukan.

Singkat cerita, saya mencoba mengubah gaya kepemimpinan saya dalam mengurus organisasi ini. Sebelumnya, saya perlu memberitahu kalian tentang versi lama dari diri saya. Dalam berbagai pengalaman organisasi, saya merupakan orang yang sangat menghargai hierarki. Sistem kemiliteran merupakan sistem yang mengagumkan untuk saya. Di dalam kemiliteran, kita memiliki anggota yang harus selalu mengikuti perintah kita, bahkan ketika mereka tidak tahu untuk apa mereka melakukan perintah tersebut. Pemimpin berpikir, anggota bekerja. Tidak perlu ada pertanyaan. Sederhana. Bagi saya, dengan asumsi bahwa posisi pemimpin diisi orang pintar dan strategis, semestinya anggota hanya tinggal menurut dan melakukan semua yang diperintahkan oleh pemimpinnya. Karena, berbagai kemungkinan dan risiko sudah dipertimbangkan oleh pemimpin. Anggota hanya perlu menurut dan loyal saja.

Di samping 'gila' akan hierarki, saya juga sebelumnya merupakan orang yang sangat berorientasi akan pekerjaan dan hasil. Saya hanya bisa mengobrol dengan anggota ketika itu menyangkut urusan pekerjaan saja. Jarang sekali saya bisa memiliki obrolan pribadi atau semacamnya. Akibat karakter saya yang seperti itu, banyak teman-teman atau bahkan anggota saya yang selalu berpikir bahwa setiap kali saya menghubungi mereka, pasti saya akan meminta sesuatu terkait pekerjaan. Sayangnya pikiran mereka lebih sering benar. Ketika berbicara tentang pekerjaan, saya juga sangat berorientasi hasil. Saya tidak peduli dengan kondisi anggota saya ataupun masalah yang dihadapinya. Saya tidak merasa perlu tahu itu semua dan selalu menuntut mereka memenuhi target yang saya tetapkan. Bagi saya, tidak peduli apakah anggota saya punya masalah, atau mungkin sudah melakukan yang terbaik, yang terpenting adalah target saya terpenuhi.

Terakhir, bagian terburuk dari diri saya adalah gaya berkomunikasinya. Sepanjang hidup saya, hal ini tidak pernah berhenti membawa masalah bagi diri saya. Sejak dulu, Tuhan memberikan saya anugerah dalam menyampaikan kebenaran dalam bentuk kritik. Kehebatan saya mengkritik telah membuat 'menyebalkan' menjadi nama tengah saya. Setiap kali orang bertanya tentang saya, mereka akan merujuk saya dengan mengatakan "Iya, Ilman yang nyebelin itu.". Sering mengkritik dan sering tidak peduli dengan perasaan orang ketika berkomunikasi telah membuat banyak korban berjatuhan. Dengan saya menjadi korban sebenarnya karena akhirnya saya dibenci banyak orang.

Seperti itulah saya sebelum menjadi presiden. Menganggap diri saya paling pintar dan merasa tidak perlu orang lain dalam merencanakan kegiatan organisasi yang saya pimpin. Saya merasa bahwa visi, misi, dan program kerja yang saya buat akan selalu cukup baik dan lebih bagus daripada ide orang lain. Saya menginginkan orang-orang percaya pada gagasan saya dan mau melakukan semua gagasan yang saya berikan tanpa mereka perlu banyak bertanya. Dalam setiap obrolan, saya tidak akan jauh-jauh dari menanyakan pekerjaan mereka, pencapaian targetnya, tanpa pernah benar-benar peduli dengan apa yang mereka hadapi saat itu. Ketika anggota saya berhasil, jarang saya memuji mereka. Tetapi ketika satu kali saja mereka gagal memenuhi target dari saya, kritik tajam saya akan dengan segera mencabik mereka. Bangga menjadi orang yang menyebalkan. Lebih memilih dibenci daripada dicintai. Bodoh, bukan?

Tetapi, kata pelatih bisbol saya dulu, tahap pertama untuk belajar adalah mengakui bahwa kita bodoh. Dengan menerima kenyataan bahwa kita tidak tahu, artinya kita siap menerima masukan dari siapapun yang lebih mengerti apa yang tidak kita ketahui itu. Berbekal pengakuan bodoh itulah saya mulai belajar lagi jadi pemimpin. Siap menerima masukan dan bahkan kritik dari siapapun, apalagi dari teman-teman yang dipimpin. Tujuan utamanya sederhana, menjawab pertanyaan penelitian (padahal bukan skripsi) yang kurang lebih berbunyi "Bagaimana membuat teman-teman dalam suatu organisasi loyal pada kita (sebagai pemimpin) dan organisasi?"

Singkat cerita, setelah hampir setahun menjabat, mulai terlihat tuh pola orang-orang dalam organisasi. Dari pengalaman berinteraksi dengan teman-teman di ISAFIS, saya melihat ada 3 hal yang harus dilakukan pemimpin terhadap anggotanya.

1. Mengisi Kepala (Self Development)

Buat kita-kita yang sudah malang melintang di dunia organisasi, tentu pernah terlibat dalam proses seleksi anggota baru. Pada ngeh gak sih kalau setiap kali kita menanyakan alasan kenapa calon anggota mau bergabung dengan organisasi kita, pasti ada satu jawaban sama yang keluar dari setiap orang? Iya, jawaban "mau belajar" itu loh. Sadar atau tidak, jawaban ini sebenarnya merupakan jawaban paling jujur dari seseorang. Disamping berbagai manfaat dari organisasi, seperti nama besar atau jaringan yang luas, pada dasarnya seseorang bergabung dalam organisasi untuk mengembangkan dirinya. Setiap orang punya kebutuhan untuk pengembangan diri dan ingin 'naik level'. Karena itu, sangat penting untuk kita sebagai pemimpin memastikan organisasi kita menyediakan wadah pengembangan diri, selain memastikan bahwa setiap anggota juga dapat kesempatan berkembang di dalam organisasinya. Caranya bisa macam-macam, mulai dari membuat kegiatan bertema capacity building, memberi kepercayaan anggota untuk memimpin kegiatan, mendelegasikan tugas, membuatkan anggota 'panggung' mereka sendiri, sampai mengapresiasi dan memberi masukan terhadap hasil kerja mereka.

Dari beberapa pengalaman saya bersinggungan dengan organisasi, banyak sekali yang lupa dengan fungsi pengembangan diri ini. Banyak organisasi yang lupa mengajari tetapi, giat menuntut anggotanya bekerja untuk organisasi tersebut dengan tuntutan standar tinggi. Ada juga yang entah beralasan atau bagaimana, mengatakan cara mereka mengajari adalah dengan metode learning by doing. Kalau menurut saya sih, para pemimpin organisasi tidak berhak mengevaluasi kinerja atau gagasan anggotanya kalau mereka saja tidak pernah melaksanakan kewajibannya mengajari para anggotanya. Gara-gara hal ini juga saya sempat kecewa dan trauma dengan organisasi di dalam kampus.

Selain itu, dari sini juga saya belajar untuk menggeser mindset saya yang sebelumnya sangat result-oriented menjadi process-oriented. Ketika kita berfokus pada pengembangan diri anggota, kita harus banyak toleran dengan hasilnya. Ada kalanya hasil yang diinginkan tidak sesuai dengan harapan. Saat itu terjadi, kita harus teliti dalam melihat situasinya. Biasanya, ada dua kemungkinan. Pertama, orang tersebut memang kurang bertanggung jawab, dalam artian tidak berusaha sepenuhnya dalam melaksanakan tugasnya. Kedua, bisa jadi orang tersebut sudah melakukan yang terbaik, namun kemampuannya memang baru sampai level tersebut. Jika yang terjadi kemungkinan pertama, sebaiknya kita tegur orang yang bersangkutan. Namun, jika kondisinya yang kedua, kita harus mengapresiasi hasil pekerjaannya sembari membantu orang tersebut meningkatkan kemampuannya. Hasil yang tidak sesuai dengan keinginan kita terkadang merupakan hasil jerih payah orang-orang yang berupaya dengan maksimal. Pemimpin karenanya mesti mampu mengapresiasi segala usaha anggota.

Disamping itu, ada juga hal lain yang saya pelajari, yaitu berbagi panggung. Punya jabatan tinggi seringkali membuat kita mendapat kesempatan, misalnya jadi pembicara. Terkadang, sebagai pemimpin, kita harus pandai berbagi panggung dan mendelegasikan tugas. Ada kalanya kita sendiri yang harus muncul di depan, tetapi pada lain waktu kita juga perlu cermat dan memberi kesempatan untuk anggota-anggota kita juga muncul di depan. Kalau perlu, kita buatkan mereka panggungnya. Misalnya, dengan membuat kerja sama dengan organisasi lain untuk kemudian kita kirim anggota kita sebagai pembicara di sana. Kenapa ini penting? Karena sebagai pemimpin kita seringkali lupa bahwa yang butuh pengakuan bukan hanya kita, tetapi juga anggota kita. Memberi mereka kesempatan untuk muncul dan mendapatkan pengakuan dari sekitarnya juga merupakan bagian dari upaya kita memberikan ruang untuk anggota kita mengembangkan diri.

2. Mengisi Hati (Affection)

Bisa dikatakan bagian ini adalah yang paling sulit buat saya. Mengingat saya cenderung tidak peduli dengan perasaan orang lain. Namun, mengingat saya butuh diterima (syukur-syukur kalau disukai) anggotanya, belajar merupakan harga mati. Untuk menjelaskan urgensi poin ini, sebenarnya bisa dilihat dari dua sudut pandang: pemimpin dan anggota.

Dari sudut pandang pemimpin, memberi perhatian penting karena sebagai pemimpin kita perlu mengetahui apapun masalah yang ada di tingkat bawah. Cara paling mudah adalah dengan membuat diri kita seterbuka mungkin dan nyaman untuk anggota kita bercerita tentang masalah yang ada. Banyak kasus pemimpin tidak banyak tahu masalah di tingkat bawah karena segan dan takut sama pemimpinnya. Ini yang harus dihindari. Sebagai pemimpin, kita punya visi untuk dicapai, setiap hambatan, sekecil apapun, harus bisa direspon untuk menjaga ketercapaian visi tersebut. Dengan selalu memberi perhatian, menanyakan kabar, dan peduli dengan mereka secara personal sebagai teman, batas-batas yang membuat orang segan akan hilang. Siapapun akan lebih terbuka ketika mendapat masalah sehingga kita sebagai pemimpin juga bisa merespon masalah tersebut lebih cepat.

Selain itu, pemimpin juga biasanya yang mendapatkan pujian atau apresiasi ketika organisasinya berhasil mencapai sesuatu, padahal bisa jadi itu hasil jerih payah anggotanya. Karena pemimpin sudah pasti dapat perhatian dari banyak pihak, jadinya tugas pemimpin untuk memberi perhatian anggotanya. Ketika seluruh perhatian tertuju pada pemimpin, anggota cuma bisa berharap perhatian dari pemimpinnya.

Dari sudut pandang anggota, sebagai pendatang baru di organisasi, kita pasti perlu perhatian untuk merasa nyaman dan mau bekerja di organisasi tersebut. Berada di lingkungan yang asing sering kali membuat kita ragu dan kadang masih malu-malu. Dengan kondisi seperti itu tentu saja kita berharap pemimpin organisasi tersebut mau mendekati kita dan menjelaskan 'rumah' baru kita. Apabila tuan rumahnya ramah, tentu saja kita akan betah. Sebagai anggota, urusan kita juga bukan hanya organisasi. Status mahasiswa membuat kuliah akan selalu menjadi nomor satu. Karena itu, kita juga butuh pemimpin yang perhatian dan mau mengerti manakala kita harus mengutamakan kuliah dibandingkan urusan organisasi. Lebih menyenangkan punya pemimpin yang bisa menjadi teman berkeluh kesah daripada sekedar 'bos' tukang suruh ini itu, bukan?

Usaha saya untuk lebih perhatian ini membawa saya mendapat sahabat-sahabat baru. Awalnya coba perhatian untuk urusan organisasi, tapi akhinya jadi dekat sama masing-masing individu. Karena berusaha secara tulus kenal dengan masing-masing orang, jadinya benar-benar kenal dengan mereka satu per satu. Mengerti karakternya, tahu kelebihannya, bisa paham kekurangannya, dan seringkali sampai tahu kondisi keluarganya. Pengetahuan tentang masing-masing orang membantu kita sebagai pemimpin paham cara komunikasi dengan setiap orang. Membuat komunikasi juga lebih efektif. Satu hal yang tidak terlupakan dari eksperimen ini adalah respon orang-orang yang selalu sama setiap kali saya menanyakan kabar mereka: curiga. Kebiasaan lama yang selalu menghubungi setiap kali ada masalah atau ada yang harus diselesaikan membuat setiap kali saya menghubungi mereka secara personal, orang-orang langsung berpikir bahwa ada yang salah atau saya akan minta tolong sesuatu. Padahal, terkadang saya hanya ingin tahu kondisi mereka, orang tua mereka, dan kesibukan mereka saat-saat tertentu.

3. Mengisi Perut (Basic Needs)

Bagian ini memang terdengar aneh dan multitafsir. Agak sulit memang menjelaskan ini karena mestinya dilakukan secara ideal untuk pemimpin yang memang sudah bisa menghidupi orang lain. Tapi akan coba dijelaskan sebaik mungkin. Sebenarnya, maksudnya mengisi perut itu adalah memenuhi kebutuhan dasar anggota kita, walaupun mengisi perut secara harfiah juga boleh. Mengisi perut itu memenuhi kebutuhan dasar anggota semisal kebutuhan akan pengakuan dan uang. Kalau kata Dale Carnegie, perasaan penting itu merupakan kebutuhan dasar manusia. Di organisasi, hanya pemimpin yang bisa melakukan itu melalui apresiasi dan delegasi tugas.

Selanjutnya, meskipun sepertinya tidak selalu cocok dengan seluruh organisasi, menurut saya penting untuk pemimpin memenuhi kebutuhan anggotanya terkait uang. Untuk aktif di organisasi, tentu anggota kita akan banyak mengeluarkan uang. Setiap kali rapat, setiap kali kumpul, setiap kali melaksanakan program, biasanya anggota kita akan keluar uang paling tidak untuk ongkos. Alangkah bijaksananya kalau organisasi tidak membebani anggota dengan iuran atau kewajiban membayar uang tertentu karena untuk kegiatan rutin saja sudah pasti mereka keluar uang. Sebaliknya, sebisa mungkin organisasi bisa sedikit membantu anggotanya memberi uang saku tambahan. Biasanya di ISAFIS, setiap kali ada kerja sama dengan organisasi lain yang menghasilkan profit, uangnya akan dibagi untuk anggota yang bertanggung jawab mengurusi dan ISAFIS dengan pembagian 60 : 40. Artinya, kalau memang anggota punya kemampuan tertentu dan bisa difasilitasi, semestinya pemimpin mewadahinya dan memberi mereka peluang untuk mendapatkan kebutuhan dasar mereka.

Memenuhi kebutuhan dasar juga selain diartikan mentraktrir makan anggota kita, bisa juga berarti membantu anggota kita sebisa mungkin. Logikanya, kalau kita tidak bisa memberi sesuatu, setidaknya kita tidak membebani anggota kita. Pemimpin itu harapan terakhir anggota-anggotanya. Jadi, ketika memang tidak ada lagi yang bisa membantu, pemimpin harus siap turun tangan langsung membantu anggotanya. Ini juga bisa diartikan sebagai mengisi perut anggota alias memenuhi kebutuhan dasarnya.

Memberi Manfaat dan Pembentukan Loyalitas

Apabila kita sebagai pemimpin sudah mampu memenuhi tiga hal di atas melalui organisasi yang kita pimpin, kita bisa berharap anggota kita akan loyal dengan pemimpin dan organisasinya. Garis besar dari tiga hal di atas sebenarnya adalah membangun jiwa kepedulian dan memberi manfaat pada anggota. Pemimpin yang baik harus bisa peduli dengan anggotanya dan membuat organisasi yang dipimpin menjadi tempat yang mampu memberi manfaat sebesar-besarnya pada anggota organisasi tersebut. Jika pemimpin dan organisasi sudah mampu memberikan perhatian dan manfaat pada anggotanya, kita bisa berharap anggota tersebut akan balik memberi pada organisasi. Iya, dengan kata lain, anggota kita akan loyal pada kita dan organisasi kita. Kalau sudah dilakukan tapi anggotanya tidak juga loyal, harus diperiksa lagi jangan-jangan orangnya memang super pragmatis dan memang cuma mencari keuntungan semata tapi tidak peduli dengan organisasinya. Tinggalkan saja. Karena seperti peristiwa resonansi, di mana benda akan ikut bergetar kalau frekuensinya sama dengan sumber bunyi, orang juga hanya akan bergerak apabila memegang nilai-nilai yang sama dengan pemimpinnya. Jika tidak, lupakan dan cari orang lain dengan nilai yang sama.


Ilman Dzikri

Some say he’s half man half fish, others say he’s more of a seventy/thirty split. Either way he’s a fishy bastard.

0 komentar: