Stop Worrying, Start Doing!


Masih tentang khawatir. Satu rasa yang tahun kemarin banyak mengajarkan saya cara menjaga asa. Guru dalam perenungan panjang mencari apa-apa yang boleh dan perlu diputuskan. Dia memang tidak ramah. Namun, pada akhirnya menunjukkan arah.

Jika ada satu kalimat untuk menggambarkan perjalanan saya selama setahun kemarin, kalimat tersebut adalah "Stop Worrying, Start Doing!". Sebuah mantra dari seorang guru yang bahkan tidak pernah bisa diajak bertemu.

Kekhawatiran mengajarkan saya bahwa dia bukanlah milik satu orang belaka. Dia ada di dalam diri setiap hamba. Terutama generasi muda yang terkenal dengan sebutan "millennial" (Generasi Y). Setidaknya itu kata Forbes, Elite Daily, dan Business Insider. Kang Simon Sinek juga ternyata setuju dengan tulisan-tulisan itu.

Kita, saya dan kamu juga banyak orang lainnya, adalah generasi yang identik dengan kekhawatiran. Setuju atau tidak, generasi millennial khawatir akan banyak hal: khawatir tidak cukup baik dalam melakukan sesuatu, khawatir akan apa yang orang lain pikirkan tentang kita, khawatir tertinggal oleh teman sebaya, khawatir tidak bisa mencapai impian pada waktu yang kita inginkan, dan banyak lagi kekhawatiran lainnya. Khawatir memang sama dengan waspada, membuat kita mengantisipasi berbagai kemungkinan sehingga jadi lebih siap. Sayangnya, tidak semua kekhawatiran kita pada kenyataannya perlu. Apalagi kekhawatiran kita (yang berlebihan)  bisa memberi dampak negatif.

Masih cerita yang sama, dunia tempat millennial ini hidup, dunia dengan perkembangan teknologi yang pesat dan berbagai kemudahan sebagai konsekuensinya, pun turut menyiram kekhawatiran dalam benak para millennial. Apa sebab? Perkawinan antara era digital dan era infornasi membuat millennial tahu apa-apa yang (seringkali) tidak perlu kita  tahu. Belum lagi era informasi bikin millennial terpapar lebih banyak informasi. Apa menu makan siang teman kita, ke mana mereka liburan, dengan siapa mereka nongkrong, di mana mereka bekerja, siapa bos mereka, semuanya tidak harus kita tahu. Media sosial membuat kita jadi harus tahu semua itu dan mau tidak mau akan membandingkan diri kita dengan orang lain. Membuat kita merasa "kok mereka gitu aku nggak?" dan ujung-ujungnya khawatir kalau kita tidak cukup baik atau tidak cukup keras dalam mengusahakan sesuatu.

Habis itu, tahu banyak orang sukses juga tidak selalu memotivasi millenial. Apalagi tahu orang itu sukses sejak masih muda. Salah salah, bukan jadi motivasi, mengetahui kesuksesan mereka malah menjadi demotivasi. Bagaimana tidak? Orang-orang yang sukses pada usia belia membuat millenial berpikir "buset, dah! umur segitu aku masih main gundu.". Kalau sudah begitu, ujung-ujungnya kepercayaan diri millenial tergerus habis.

Ada hal lain yang mendukung millenial jadi cenderung lebih banyak khawatir: mie instan. Bukan kebanyakan mecin yang bikin khawatir. Mental instan yang termanifestasi dalam mie itulah sebenarnya penyebab millienial lebih banyak khawatir. Selalu ingin cepat, selalu dapat cepat, membuat millenial berpikir semuanya bisa didapat dengan cepat. Melihat orang sukses, apalagi masih muda, dikiranya mudah. Sekali coba, kemudian gagal, terus enggan melanjutkan, dikiranya berkarya langsung bisa. Jadinya, millenial selalu ingin sukses cepat-cepat dan saat harus menjalani prosesnya tidak kuat. Kita jadi sering lupa dan jarang ingat kalau setiap kesuksesan itu ada perjuangan di baliknya. Kalau mereka yang sukses juga melewati berbagai proses. Meskipun sering kali kita terpaku hanya pada yang terlihat.

Jika sudah akut, kombinasi kebanyakan khawatir dan mental instan ini akan membuat kita jadi orang yang waktunya habis untuk memikikan kekhawatiran kita dan memimpikan kesuksesan orang lain. Bilang tidak cocok menggeluti satu bidang padahal belum pernah mencoba. Takut berkarya karena khawatir dihina. Ingin jadi vlogger terkenal tapi waktunya habis nonton channel orang daripada buat vlog-nya sendiri. Mau punya banyak followers di Instagram tapi malas belajar VSCO dan buat caption. Harapannya jadi CEO dan Founder tapi ada pekerjaan ditunda-tunda. Semuanya mentok di mimpi dan niat belaka. 

Buat saya, butuh hampir sepuluh purnama untuk menyadari itu. Butuh sepuluh purnama untuk saya keluar dari berbagai kekhawatiran khas millenial, menyadari bahwa gagal mencoba itu biasa, mengakui diri ini banyak beralasan, meyakini kesuksesan harus melewati proses, dan menerima kenyataan kalau setiap orang punya jalan dan waktu suksesnya sendiri. Pada purnama kesepuluh itulah saya berjanji akan berhenti khawatir dan mulai mengerjakan mimpi saya. Karena hanya kita sendiri (dan Tuhan - jika kamu percaya) yang bisa menentukan kesuksesan kita. 

Saya percaya, gagal ketika mencoba lebih baik daripada menyesal tidak pernah mencoba. Menemukan ketidakcocokan lebih baik daripada hanya menebak-nebak dari alam pikiran. Mengerjakan dan menyelesaikan sesuatu membawa lebih pasti membawa kita pada impian daripada hanya memimpikannya. 

Semoga kamu juga begitu.

Banyak orang yang ingin jadi bagian dari hal besar,
tapi usahanya kecil.
Banyak orang yang punya cita-cita,
tapi memilih menjadikannya lamunan daripada tindakan.
Banyak orang mengharapkan kesuksesan,
tapi memilih beralasan daripada menawarkan solusi.
Jadi, masih mau jadi kebanyakan orang?

Satu Alasan untuk Khawatir

 


Ada banyak alasan di dunia ini untuk kita merasa khawatir. Masa depan adalah salah satunya. Tidak berbeda dengan kebanyakan kita, saya sering membayangkan diri saya lima atau sepuluh tahun dari sekarang. Satu waktu saya tersenyum, membayangkan apa-apa saja yang berharap bisa terwujud, dengan optimisme membumbung tinggi ke angkasa. Lain waktu saya mengernyitkan dahi, melempar pandangan kosong pada dunia, kala permasalahan merundung menutupi bayang-bayang masa depan yang saya inginkan. Sesekali, manakala saya merasa hidup tengah tidak bersahabat, penuh masalah dan tidak sesuai harapan, masa depan terasa sangat jauh lagi gelap. Optimisme pun surut berganti kegelisahan tanpa jawaban. Meninggalkan keraguan atas berbagai pertanyaan tentang masa depan.

Saya percaya bahwa kekhawatiran semacam itu sebetulnya adalah wajah lain dari ketakutan: takut tidak bisa memenuhi ekspektasi orang lain. Tepat di momen-momen menjelang saya memakai jubah hitam dan topi segi-lima, perasaan ini datang menghantui. Berkuliah di universitas yang menyandang nama negara, di jurusan yang mematahkan hati banyak calon mahasiswa, dan beberapa prestasi di dalam maupun di luar kelas, saya merasa ada beban di pundak saya. Ekspektasi dari orang-orang di sekeliling secara tidak sadar tumbuh bersama apa yang diraih. Serupa rumah, tetangga melihat halaman dan luaran, si empunya melihat isi rumah. Ketika orang-orang melihat saya dari apa-apa saja yang pernah diraih, saya sendiri lebih banyak melihat apa-apa saja yang saya rasa belum kuasai selama delapan semester ambil kuliah. Tidak heran, ujung ceritera ini adalah saya takut belum siap meninggalkan kampus, sedangkan orang-orang nampaknya tidak sabar menunggu torehan-torehan baru saya setelah menyandang gelar sarjana.

Sekali waktu, ingin rasanya bebas dari ekspektasi orang lain. Tidak melulu dikurung standar tertentu. Bebas bilang kalau saya tidak tahu atau tidak mampu. Bebas bermalas-malasan hanya agar tidak menjadi apa yang orang bayangkan. Boleh pula gagal dalam menjalani suatu hal untuk coba-coba.

Sadar atau tidak, kita sebagai makhluk sosial banyak menghabiskan hidup kita untuk memenuhi ekspektasi orang lain. Tak apa. Itu disebut konformitas: mengubah sikap atau tingkah laku kita sesuai dengan norma sosial yang ada. Ada saja hal-hal seperti membawa buah-buahan untuk teman yang tengah sakit, memberi amplop berisi duit di kawinan, atau membagikan oleh-oleh sehabis bepergian jauh kita lakukan karena norma sosial mengekspektasikan kita berbuat demikian. Nah, kalau dipikir ulang, mungkin ada hal-hal lebih besar juga kita lakukan hanya karena kita melihat itu sebagai kebiasaan (norma) yang berlaku sehingga melakukannya agar sesuai ekspektasi orang-orang. Ambil contoh sekolah. Setelah lulus setiap tingkat pendidikan, terutama saat masih anak-anak, kita lanjut sekolah cenderung karena teman-teman kita juga lanjut sekolah (dan kita beruntung punya orang tua yang mampu menyekolahkan). Memilih SMA daripada SMK, memilih program sarjana daripada diploma, memilih lanjut sekolah atau langsung bekerja, memilih kerja di korporat daripada startup, memilih menikah di usia kepala dua daripada kepala tiga, apakah kita mengambil pilihan tersebut karena betul-betul paham setiap pilihan, ataukah menuruti ekspektasi teman-teman, guru, orang tua, atau pihak eksternal lainnya? Tentu saja kita berharap karena mengerti konsekuensi pilihan kita. Meskipun pada kenyataannya mungkin tidak selalu begitu.

Saya tidak berusaha mengatakan bahwa mengikuti ekspektasi lingkungan itu suatu kesalahan. Tidak juga mengatakan bahwa konformitas itu salah. Toh sejak lahir kita juga sudah menanggung ekspektasi orang tua yang tersemat pada nama kita. Ekspektasi, sebaliknya, sering kali membantu kita untuk tetap berada di jalur yang tepat. Mendorong kita berkembang menjadi versi lebih baik. Memaksa kita menembus batas-batas buatan kita sendiri. Setidaknya itu yang saya rasakan ketika kuliah. Ekspektasi lingkungan yang penuh prestasi serta penuh orang-orang ambi(sius) membuat saya menjadi saya sekarang. Tanpa ada ekspektasi demikian, bisa jadi saya tidak punya dorongan (lebih) untuk banyak-banyak bikin prestasi.

Saya cuma khawatir saya bakal memilih melakukan sesuatu yang menjadi ekspektasi orang lain daripada memilih melakukan apa-apa yang benar-benar saya inginkan. Selepas menamatkan kuliah, banyak sekali keputusan mesti diambil. Terkadang, ada dilema antara memenuhi ekspektasi orang lain dan menjalani hidup yang kita inginkan. Hidup ini memang sering kali bukan hanya tentang kita. Ada orang tua, keluarga, pasangan, sahabat, yang seakan-akan juga punya hak untuk dipertimbangkan ketika mengambil keputusan. Setelah banyak-banyak memikirkan ini, saya paham satu hal. Saya tidak takut gagal memenuhi ekspektasi mereka pada saya. Lebih dari itu, saya takut berhasil memenuhi ekspektasi mereka, kemudian sadar bahwa bukan itu yang saya inginkan.
 
Hidup kita, kita yang jalani. Orang boleh bilang kita harus hidup begini atau begitu. Orang boleh bilang hidup kita bahagia atau nelangsa. Tapi, pastikan saat kita tengok diri, ia menjadi apa yang kita kehendaki. Itu.

Politik Kotor? Lantas Siapa Yang Membersihkan?





















"Apa yang pertama kali muncul di kepala lo ketika ngedenger kata politik?"

Sebagian dari kita mungkin akan menjawab dengan kekuasaan, kepentingan, pengaruh, atau istilah terkait politik lainnya. Namun, saya percaya, banyak dari kita akan mengeluarkan jawaban-jawaban yang cenderung bernada negatif, seperti "politik itu kotor", "politik itu sarang korupsi", "politik ajang berebut kekuasaan", atau "meraih jabatan dengan menghalalkan segala cara". Jika melihat situasi Indonesia hari ini, tidak heran memang persepsi bahwa politik itu kotor masih cukup dominan di masyarakat. 

Sedari masa Orde Baru, dunia perpolitikan Indonesia memang belum bisa dibilang membanggakan. Pengalaman dipimpin selama 32 tahun oleh presiden yang sama, dibarengi korupsi, kolusi, serta nepotisme yang menjalari pemerintahan tentu menumbuhkan persepsi buruk dalam kepala kita tentang politik dan birokrasi. Kini, hampir dua dekade reformasi bergulir, masalah-masalah tersebut belum juga selesai. Setiap hari media massa memberitakan terungkapnya kasus korupsi, dari penangkapan kepala daerah sampai anggota dewan. Seakan-akan ingin menegaskan bahwa korupsi semakin merajarela di negeri ini. Di sisi lain, para elit politik juga sudah tidak malu-malu lagi memuaskan hasrat akan kekuasaan dan keserakahannya meskipun itu bertentangan dengan kepentingan rakyat. Ramai-ramai mereka membela kepentingan pribadi dan golongan di hadapan rakyat yang kemudian hanya bisa mencaci atau akhirnya pasrah. Dengan begitu banyaknya pemberitaan negatif dari dunia politik nasional, tidak heran persepsi politik menjadi sangat negatif bagi kita.

Salahsatu akibat dari buruknya citra politik di negeri ini adalah perginya anak-anak muda dari ranah ini. Kita, sebagai anak muda yang identik dengan semangat menggebu-gebu dan idealisme tinggi, sudah terlanjur menganggap politik itu kotor. Daripada masuk ke dunia politik, kebanyakan dari kita tentu akan memilih bekerja di korporasi atau perusahaan multi-nasional yang kita yakini mampu menjamin masa depan kita dan menjauhkan kita dari kebobrokan politik maupun pemerintahan negeri ini. Kalaupun ada sebagian dari kita yang dengan idealismenya ingin memperbaiki keadaan, pada akhirnya lebih memilih mundur secara teratur ketika dihadapkan pada risiko-risiko yang harus dihadapi apabila menentang arus.

Sayangnya, tanpa disadari, keputusan kita untuk menjauhi politik karena citranya yang buruk berdampak pada kondisi politik itu sendiri. Bayangkan apabila seluruh anak-anak muda yang cerdas dan memiliki idealisme enggan berkiprah di dunia politik. Apa yang akan terjadi? Jika seluruh anak muda yang cerdas dan memiliki idealisme meninggalkan politik, tentunya dunia politik akan diisi oleh orang-orang dengan kemampuan seadanya dan parahnya tanpa idealisme. Persis dengan kondisi politik nasional hari ini. Politik nasional kita dipenuhi oleh orang-orang yang (seringkali) bukan orang terbaik di bidangnya dan rela menjual negara untuk kekayaan pribadi.









Tapi, apakah benar politik itu kotor? Jika kita merujuk pada para pemikir dan akademisi ilmu politik, tidak ada satupun makna negatif dalam pengertian politik. Sebaliknya, politik selalu dikaitkan dengan pengambilan keputusan, kepentingan masyarakat luas, dan menciptakan kehidupan yang lebih baik. Kekuasaan memang pada akhirnya bergantung dari pemegangnya. Apabila orang baik yang berkuasa, kebaikan akan tersebar luas. Sebaliknya, apabila orang jahat yang berkuasa, kerusakan yang akan merajarela.

"Politik adalah bermacam-macam kegiatan dalam suatu sistem politik atau Negara yang menyangkut proses menentukan tujuan-tujuan sistem itu dan melaksanakan tujuan-tujuan itu. Politik diartikan sebagai usaha-usaha untuk mencapai kehidupan yang baik." - Miriam Budiardjo (Guru Besar Ilmu Politik Universitas Indonesia)

Untuk menjawab pertanyaan "apakah politik itu kotor?", saya juga sempat mengobrol dengan Ayah saya sendiri yang sudah lama berkecimpung di dunia politik. Menurut Ayah, jika kita takut berpolitik karena kita berpikir politik itu kotor dan penuh orang-orang jahat, seperti debu yang ada di mana-mana, kejahatan juga ada di semua bidang pekerjaan. Orang jahat memang bukan hanya dari kalangan politisi, kan. Dokter, pengacara, polisi, direktur, pengusaha, dan insinyur pun ada yang jahat atau curang dalam menjalankan profesinya. Artinya, mau menjadi apapun kita, bekerja di bidang apapun, kita bisa memilih untuk menjadi orang baik atau orang jahat. Meskipun sistem dan lingkungan berpengaruh, pada akhirnya, kita yang paling berperan menentukan, bukan.

"Sebagaimana semua bidang pekerjaan lainnya, politik bisa menjadi jalan bagi kita menuju surga, atau sebaliknya, neraka." - Berliana Kartakusumah
Secara sederhana, berpolitik, merebut kekuasaan, dan mengambil bagian dalam pengambilan keputusan bisa membawa kita ke surga manakala kekuasaan itu kita gunakan untuk mensejahterakan banyak orang. Manakala kekuasaan itu hanya digunakan untuk kepentingan pribadi sehingga menyengsarakan banyak orang, tentu saja kekuasaan tersebut akan menyeret kita ke neraka. Hal tersebut karena setiap kebijakan yang lahir dari proses politik akan berdampak tidak hanya kepada segelintir orang. Kebijakan yang diambil akan berdampak pada ribuan, jutaan, bahkan hingga 250 juta orang jika kebijakan tersebut bersifat nasional. Sebagaimana sebuah koin, politik memiliki dua sisi. Sayangnya, sepertinya lebih banyak dari kita yang melihat politik dari sisi gelapnya daripada berusaha melihat politik sebagai peluang untuk melakukan perubahan secara masif.

Lalu, mengapa hanya sedikit orang yang melihat politik sebagai sarana mencipta perubahan? Persepsi negatif yang terlanjur tertanam dalam benak masyarakat dan kebobrokan politik serta pemerintahan yang sudah berlangsung lama bisa dikatakan sebagai penyebab munculnya skeptisme terhadap politik dan pemerintah. Menghadapi berbagai masalah di sekitar kita, kebanyakan dari kita sudah lelah berteriak namun diabaikan pemerintah. Daripada menunggu pemerintah berbuat, sebagian dari kita berinisiatif mencarikan solusi melalui program atau gerakan yang mereka gagas.


Tidak ada yang salah dari mencari solusi dan menginisiasi gerakan perubahan. Namun, tidak semua dari kita paham bahwa pada akhirnya perubahan di tataran politik dan pemerintahan tetap dibutuhkan. Ini membuat kita seringkali lupa bahwa akar permasalahan dari situasi di negeri ini salahsatunya adalah para pengambil keputusan dan kebijakan yang tidak benar-benar menjalankan tanggung jawabnya untuk mensejahterakan rakyat. Akibatnya, banyak perubahan yang kandas di tengah jalan karena terbentur regulasi atau bahkan dicekal oleh penguasa yang tidak suka dengan gagasan perubahan tersebut.

Jika ingin benar-benar membuat perubahan, usaha penyelesaian masalah sudah semestinya dimulai dari mencari akar masalahnya untuk kemudian diselesaikan dari penyebab masalah tersebut muncul. Ketika melihat banyaknya masalah pendidikan di negeri ini, tidak bisa hanya dengan mengajak seluruh lapisan masyarakat ambil bagian dari penyelesaian masalah pendidikan. Karena itulah Anies Baswedan tidak berhenti ketika telah berhasil menggagas gerakan Indonesia Mengajar, tetapi turut berpolitik sehingga dapat menjadi Menteri Pendidikan seperti sekarang. Kini, dengan posisinya sebagai pimpinan institusi pendidikan di negeri ini, beliau tentu lebih leluasa mencipta perubahan dan mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana yang dicita-citakannya dalam gerakan Indonesia Mengajar. Pada kasus lainnya, ketika kita melihat kota tempat kita semrawut, tidak bisa hanya dengan menggagas forum komunitas untuk mengubah infrastruktur kota melalui kreativitas dan perencanaan. Seperti Ridwan Kamil yang tidak berhenti dengan menyumbangkan gagasan untuk Kota Bandung melalui Bandung Creative City Forum, tetapi kemudian berpolitik dan menjadi Walikota Bandung. Sekarang, seperti yang kita ketahui, Ridwan Kamil dengan posisinya terus membenahi infrastruktur Kota Bandung dengan menekankan perencanaan dan kreativitas sebagaimana yang dia cita-citakan.

Perubahan melalui politik yang diarahkan pada pemerintahan dapat berdampak luas karena dua hal: Negara (pemerintah) memiliki kewajiban untuk mengangkat taraf hidup masyarakatnya dan pada saat yang sama memiliki sumber daya besar untuk mengimplementasikan perubahan secara masif pada skala yang lebih luas.

Jadi, masih beranggapan politik itu kotor? Masih enggan berpolitik?

Ayo ubah cara pandang kita sebelum kita ubah praktik politik di negeri ini!

Jurnal Presiden #2 - Leadership 3.0










"Before you are a leader, success is all about growing yourself. When you become a leader, success is all about growing others." - Jack Welch
Setiap kali mendengar kata laboratorium, yang tergambar dalam pikiran saya adalah ruangan penuh cairan berbahaya dan binatang-binatang, mulai dari serangga sampai mamalia, terkurung dalam tempatnya masing-masing. Di dalamnya, lalu lalang orang berjas putih, menggunakan kacamata pelindung, memakai sarung tangan karet, sedang memegang tabung kaca berisi cairan warna-warni dengan asap mengepul di atasnya. Kalau disingkat, laboratorium selalu terdengar 'keren' di telinga saya. Karena itu juga, setiap kali mendengar ada mahasiswa yang berkata "habis dari laboratorium" atau "ada kerjaan di laboratorium", saya selalu membayangkan mereka ini orang-orang hebat yang sedang berusaha menemukan formula dan penemuan baru, layaknya Thomas Alfa Edison atau Nicholas Tesla. 

Akibat imajinasi tentang laboratorium yang sedikit berlebihan itu, saya sering iri pada mahasiswa ilmu alam yang seringkali punya jadwal kelas di laboratorium. Sebagai mahasiswa ilmu sosial, saya dan teman lain-lainnya tidak punya tempat untuk memakai jas putih, kacamata pelindung, ataupun sarung tangan karet. Kalaupun punya 'laboratorium sosial', tempatnya ya di sekitar kita, bukan ruangan khusus dengan berbagai alat eksperimen sebagaimana umumnya laboratorium. Padahal, saya juga ingin bereksperimen untuk menemukan suatu formula atau penemuan baru seperti ilmuwan-ilmuwan di luar sana.

Rasa penasaran akan pengalaman bereksperimen, digabung dengan tekad yang kuat untuk menemukan formula baru, membuat saya menciptakan laboratorium saya sendiri. 




Kalau para ilmuwan itu menggunakan ruangan sebagai laboratorium, saya menggunakan organisasi. Ketika para ilmuwan menjadikan partikel, cairan kimia, benda, atau hewan sebagai objek eksperimen, saya menjadikan teman-teman, pengurus, dan anggota organisasi saya sebagai objek eksperimen. Menggunakan organisasi sebagai laboratorium dan anggota sebagai objek eksperimen, saya berusaha menemukan formula kepemimpinan yang tepat. Sesuai dengan alasan saya menjadi Presiden ISAFIS. Belajar menjadi pemimpin dan menemukan gaya kepemimpinan yang tepat untuk saya.

Lagipula, ini kesempatan terakhir saya untuk bereksperimen. Kata orang, masa sekolah dan kuliah itu adalah masa-masa di mana kita masih boleh melakukan kesalahan. Selesai itu, harus tanggung sendiri akibat kesalahannya. Menjadi presiden di tahun terakhir kuliah berarti kesempatan terakhir saya bereskperimen tanpa perlu terlalu takut gagal. Setidaknya, kalaupun saya tidak menemukan jawaban atas apa yang harus saya lakukan, saya akan dapat jawaban atas apa yang tidak boleh saya lakukan.

Singkat cerita, saya mencoba mengubah gaya kepemimpinan saya dalam mengurus organisasi ini. Sebelumnya, saya perlu memberitahu kalian tentang versi lama dari diri saya. Dalam berbagai pengalaman organisasi, saya merupakan orang yang sangat menghargai hierarki. Sistem kemiliteran merupakan sistem yang mengagumkan untuk saya. Di dalam kemiliteran, kita memiliki anggota yang harus selalu mengikuti perintah kita, bahkan ketika mereka tidak tahu untuk apa mereka melakukan perintah tersebut. Pemimpin berpikir, anggota bekerja. Tidak perlu ada pertanyaan. Sederhana. Bagi saya, dengan asumsi bahwa posisi pemimpin diisi orang pintar dan strategis, semestinya anggota hanya tinggal menurut dan melakukan semua yang diperintahkan oleh pemimpinnya. Karena, berbagai kemungkinan dan risiko sudah dipertimbangkan oleh pemimpin. Anggota hanya perlu menurut dan loyal saja.

Di samping 'gila' akan hierarki, saya juga sebelumnya merupakan orang yang sangat berorientasi akan pekerjaan dan hasil. Saya hanya bisa mengobrol dengan anggota ketika itu menyangkut urusan pekerjaan saja. Jarang sekali saya bisa memiliki obrolan pribadi atau semacamnya. Akibat karakter saya yang seperti itu, banyak teman-teman atau bahkan anggota saya yang selalu berpikir bahwa setiap kali saya menghubungi mereka, pasti saya akan meminta sesuatu terkait pekerjaan. Sayangnya pikiran mereka lebih sering benar. Ketika berbicara tentang pekerjaan, saya juga sangat berorientasi hasil. Saya tidak peduli dengan kondisi anggota saya ataupun masalah yang dihadapinya. Saya tidak merasa perlu tahu itu semua dan selalu menuntut mereka memenuhi target yang saya tetapkan. Bagi saya, tidak peduli apakah anggota saya punya masalah, atau mungkin sudah melakukan yang terbaik, yang terpenting adalah target saya terpenuhi.

Terakhir, bagian terburuk dari diri saya adalah gaya berkomunikasinya. Sepanjang hidup saya, hal ini tidak pernah berhenti membawa masalah bagi diri saya. Sejak dulu, Tuhan memberikan saya anugerah dalam menyampaikan kebenaran dalam bentuk kritik. Kehebatan saya mengkritik telah membuat 'menyebalkan' menjadi nama tengah saya. Setiap kali orang bertanya tentang saya, mereka akan merujuk saya dengan mengatakan "Iya, Ilman yang nyebelin itu.". Sering mengkritik dan sering tidak peduli dengan perasaan orang ketika berkomunikasi telah membuat banyak korban berjatuhan. Dengan saya menjadi korban sebenarnya karena akhirnya saya dibenci banyak orang.

Seperti itulah saya sebelum menjadi presiden. Menganggap diri saya paling pintar dan merasa tidak perlu orang lain dalam merencanakan kegiatan organisasi yang saya pimpin. Saya merasa bahwa visi, misi, dan program kerja yang saya buat akan selalu cukup baik dan lebih bagus daripada ide orang lain. Saya menginginkan orang-orang percaya pada gagasan saya dan mau melakukan semua gagasan yang saya berikan tanpa mereka perlu banyak bertanya. Dalam setiap obrolan, saya tidak akan jauh-jauh dari menanyakan pekerjaan mereka, pencapaian targetnya, tanpa pernah benar-benar peduli dengan apa yang mereka hadapi saat itu. Ketika anggota saya berhasil, jarang saya memuji mereka. Tetapi ketika satu kali saja mereka gagal memenuhi target dari saya, kritik tajam saya akan dengan segera mencabik mereka. Bangga menjadi orang yang menyebalkan. Lebih memilih dibenci daripada dicintai. Bodoh, bukan?

Tetapi, kata pelatih bisbol saya dulu, tahap pertama untuk belajar adalah mengakui bahwa kita bodoh. Dengan menerima kenyataan bahwa kita tidak tahu, artinya kita siap menerima masukan dari siapapun yang lebih mengerti apa yang tidak kita ketahui itu. Berbekal pengakuan bodoh itulah saya mulai belajar lagi jadi pemimpin. Siap menerima masukan dan bahkan kritik dari siapapun, apalagi dari teman-teman yang dipimpin. Tujuan utamanya sederhana, menjawab pertanyaan penelitian (padahal bukan skripsi) yang kurang lebih berbunyi "Bagaimana membuat teman-teman dalam suatu organisasi loyal pada kita (sebagai pemimpin) dan organisasi?"

Singkat cerita, setelah hampir setahun menjabat, mulai terlihat tuh pola orang-orang dalam organisasi. Dari pengalaman berinteraksi dengan teman-teman di ISAFIS, saya melihat ada 3 hal yang harus dilakukan pemimpin terhadap anggotanya.

1. Mengisi Kepala (Self Development)

Buat kita-kita yang sudah malang melintang di dunia organisasi, tentu pernah terlibat dalam proses seleksi anggota baru. Pada ngeh gak sih kalau setiap kali kita menanyakan alasan kenapa calon anggota mau bergabung dengan organisasi kita, pasti ada satu jawaban sama yang keluar dari setiap orang? Iya, jawaban "mau belajar" itu loh. Sadar atau tidak, jawaban ini sebenarnya merupakan jawaban paling jujur dari seseorang. Disamping berbagai manfaat dari organisasi, seperti nama besar atau jaringan yang luas, pada dasarnya seseorang bergabung dalam organisasi untuk mengembangkan dirinya. Setiap orang punya kebutuhan untuk pengembangan diri dan ingin 'naik level'. Karena itu, sangat penting untuk kita sebagai pemimpin memastikan organisasi kita menyediakan wadah pengembangan diri, selain memastikan bahwa setiap anggota juga dapat kesempatan berkembang di dalam organisasinya. Caranya bisa macam-macam, mulai dari membuat kegiatan bertema capacity building, memberi kepercayaan anggota untuk memimpin kegiatan, mendelegasikan tugas, membuatkan anggota 'panggung' mereka sendiri, sampai mengapresiasi dan memberi masukan terhadap hasil kerja mereka.

Dari beberapa pengalaman saya bersinggungan dengan organisasi, banyak sekali yang lupa dengan fungsi pengembangan diri ini. Banyak organisasi yang lupa mengajari tetapi, giat menuntut anggotanya bekerja untuk organisasi tersebut dengan tuntutan standar tinggi. Ada juga yang entah beralasan atau bagaimana, mengatakan cara mereka mengajari adalah dengan metode learning by doing. Kalau menurut saya sih, para pemimpin organisasi tidak berhak mengevaluasi kinerja atau gagasan anggotanya kalau mereka saja tidak pernah melaksanakan kewajibannya mengajari para anggotanya. Gara-gara hal ini juga saya sempat kecewa dan trauma dengan organisasi di dalam kampus.

Selain itu, dari sini juga saya belajar untuk menggeser mindset saya yang sebelumnya sangat result-oriented menjadi process-oriented. Ketika kita berfokus pada pengembangan diri anggota, kita harus banyak toleran dengan hasilnya. Ada kalanya hasil yang diinginkan tidak sesuai dengan harapan. Saat itu terjadi, kita harus teliti dalam melihat situasinya. Biasanya, ada dua kemungkinan. Pertama, orang tersebut memang kurang bertanggung jawab, dalam artian tidak berusaha sepenuhnya dalam melaksanakan tugasnya. Kedua, bisa jadi orang tersebut sudah melakukan yang terbaik, namun kemampuannya memang baru sampai level tersebut. Jika yang terjadi kemungkinan pertama, sebaiknya kita tegur orang yang bersangkutan. Namun, jika kondisinya yang kedua, kita harus mengapresiasi hasil pekerjaannya sembari membantu orang tersebut meningkatkan kemampuannya. Hasil yang tidak sesuai dengan keinginan kita terkadang merupakan hasil jerih payah orang-orang yang berupaya dengan maksimal. Pemimpin karenanya mesti mampu mengapresiasi segala usaha anggota.

Disamping itu, ada juga hal lain yang saya pelajari, yaitu berbagi panggung. Punya jabatan tinggi seringkali membuat kita mendapat kesempatan, misalnya jadi pembicara. Terkadang, sebagai pemimpin, kita harus pandai berbagi panggung dan mendelegasikan tugas. Ada kalanya kita sendiri yang harus muncul di depan, tetapi pada lain waktu kita juga perlu cermat dan memberi kesempatan untuk anggota-anggota kita juga muncul di depan. Kalau perlu, kita buatkan mereka panggungnya. Misalnya, dengan membuat kerja sama dengan organisasi lain untuk kemudian kita kirim anggota kita sebagai pembicara di sana. Kenapa ini penting? Karena sebagai pemimpin kita seringkali lupa bahwa yang butuh pengakuan bukan hanya kita, tetapi juga anggota kita. Memberi mereka kesempatan untuk muncul dan mendapatkan pengakuan dari sekitarnya juga merupakan bagian dari upaya kita memberikan ruang untuk anggota kita mengembangkan diri.

2. Mengisi Hati (Affection)

Bisa dikatakan bagian ini adalah yang paling sulit buat saya. Mengingat saya cenderung tidak peduli dengan perasaan orang lain. Namun, mengingat saya butuh diterima (syukur-syukur kalau disukai) anggotanya, belajar merupakan harga mati. Untuk menjelaskan urgensi poin ini, sebenarnya bisa dilihat dari dua sudut pandang: pemimpin dan anggota.

Dari sudut pandang pemimpin, memberi perhatian penting karena sebagai pemimpin kita perlu mengetahui apapun masalah yang ada di tingkat bawah. Cara paling mudah adalah dengan membuat diri kita seterbuka mungkin dan nyaman untuk anggota kita bercerita tentang masalah yang ada. Banyak kasus pemimpin tidak banyak tahu masalah di tingkat bawah karena segan dan takut sama pemimpinnya. Ini yang harus dihindari. Sebagai pemimpin, kita punya visi untuk dicapai, setiap hambatan, sekecil apapun, harus bisa direspon untuk menjaga ketercapaian visi tersebut. Dengan selalu memberi perhatian, menanyakan kabar, dan peduli dengan mereka secara personal sebagai teman, batas-batas yang membuat orang segan akan hilang. Siapapun akan lebih terbuka ketika mendapat masalah sehingga kita sebagai pemimpin juga bisa merespon masalah tersebut lebih cepat.

Selain itu, pemimpin juga biasanya yang mendapatkan pujian atau apresiasi ketika organisasinya berhasil mencapai sesuatu, padahal bisa jadi itu hasil jerih payah anggotanya. Karena pemimpin sudah pasti dapat perhatian dari banyak pihak, jadinya tugas pemimpin untuk memberi perhatian anggotanya. Ketika seluruh perhatian tertuju pada pemimpin, anggota cuma bisa berharap perhatian dari pemimpinnya.

Dari sudut pandang anggota, sebagai pendatang baru di organisasi, kita pasti perlu perhatian untuk merasa nyaman dan mau bekerja di organisasi tersebut. Berada di lingkungan yang asing sering kali membuat kita ragu dan kadang masih malu-malu. Dengan kondisi seperti itu tentu saja kita berharap pemimpin organisasi tersebut mau mendekati kita dan menjelaskan 'rumah' baru kita. Apabila tuan rumahnya ramah, tentu saja kita akan betah. Sebagai anggota, urusan kita juga bukan hanya organisasi. Status mahasiswa membuat kuliah akan selalu menjadi nomor satu. Karena itu, kita juga butuh pemimpin yang perhatian dan mau mengerti manakala kita harus mengutamakan kuliah dibandingkan urusan organisasi. Lebih menyenangkan punya pemimpin yang bisa menjadi teman berkeluh kesah daripada sekedar 'bos' tukang suruh ini itu, bukan?

Usaha saya untuk lebih perhatian ini membawa saya mendapat sahabat-sahabat baru. Awalnya coba perhatian untuk urusan organisasi, tapi akhinya jadi dekat sama masing-masing individu. Karena berusaha secara tulus kenal dengan masing-masing orang, jadinya benar-benar kenal dengan mereka satu per satu. Mengerti karakternya, tahu kelebihannya, bisa paham kekurangannya, dan seringkali sampai tahu kondisi keluarganya. Pengetahuan tentang masing-masing orang membantu kita sebagai pemimpin paham cara komunikasi dengan setiap orang. Membuat komunikasi juga lebih efektif. Satu hal yang tidak terlupakan dari eksperimen ini adalah respon orang-orang yang selalu sama setiap kali saya menanyakan kabar mereka: curiga. Kebiasaan lama yang selalu menghubungi setiap kali ada masalah atau ada yang harus diselesaikan membuat setiap kali saya menghubungi mereka secara personal, orang-orang langsung berpikir bahwa ada yang salah atau saya akan minta tolong sesuatu. Padahal, terkadang saya hanya ingin tahu kondisi mereka, orang tua mereka, dan kesibukan mereka saat-saat tertentu.

3. Mengisi Perut (Basic Needs)

Bagian ini memang terdengar aneh dan multitafsir. Agak sulit memang menjelaskan ini karena mestinya dilakukan secara ideal untuk pemimpin yang memang sudah bisa menghidupi orang lain. Tapi akan coba dijelaskan sebaik mungkin. Sebenarnya, maksudnya mengisi perut itu adalah memenuhi kebutuhan dasar anggota kita, walaupun mengisi perut secara harfiah juga boleh. Mengisi perut itu memenuhi kebutuhan dasar anggota semisal kebutuhan akan pengakuan dan uang. Kalau kata Dale Carnegie, perasaan penting itu merupakan kebutuhan dasar manusia. Di organisasi, hanya pemimpin yang bisa melakukan itu melalui apresiasi dan delegasi tugas.

Selanjutnya, meskipun sepertinya tidak selalu cocok dengan seluruh organisasi, menurut saya penting untuk pemimpin memenuhi kebutuhan anggotanya terkait uang. Untuk aktif di organisasi, tentu anggota kita akan banyak mengeluarkan uang. Setiap kali rapat, setiap kali kumpul, setiap kali melaksanakan program, biasanya anggota kita akan keluar uang paling tidak untuk ongkos. Alangkah bijaksananya kalau organisasi tidak membebani anggota dengan iuran atau kewajiban membayar uang tertentu karena untuk kegiatan rutin saja sudah pasti mereka keluar uang. Sebaliknya, sebisa mungkin organisasi bisa sedikit membantu anggotanya memberi uang saku tambahan. Biasanya di ISAFIS, setiap kali ada kerja sama dengan organisasi lain yang menghasilkan profit, uangnya akan dibagi untuk anggota yang bertanggung jawab mengurusi dan ISAFIS dengan pembagian 60 : 40. Artinya, kalau memang anggota punya kemampuan tertentu dan bisa difasilitasi, semestinya pemimpin mewadahinya dan memberi mereka peluang untuk mendapatkan kebutuhan dasar mereka.

Memenuhi kebutuhan dasar juga selain diartikan mentraktrir makan anggota kita, bisa juga berarti membantu anggota kita sebisa mungkin. Logikanya, kalau kita tidak bisa memberi sesuatu, setidaknya kita tidak membebani anggota kita. Pemimpin itu harapan terakhir anggota-anggotanya. Jadi, ketika memang tidak ada lagi yang bisa membantu, pemimpin harus siap turun tangan langsung membantu anggotanya. Ini juga bisa diartikan sebagai mengisi perut anggota alias memenuhi kebutuhan dasarnya.

Memberi Manfaat dan Pembentukan Loyalitas

Apabila kita sebagai pemimpin sudah mampu memenuhi tiga hal di atas melalui organisasi yang kita pimpin, kita bisa berharap anggota kita akan loyal dengan pemimpin dan organisasinya. Garis besar dari tiga hal di atas sebenarnya adalah membangun jiwa kepedulian dan memberi manfaat pada anggota. Pemimpin yang baik harus bisa peduli dengan anggotanya dan membuat organisasi yang dipimpin menjadi tempat yang mampu memberi manfaat sebesar-besarnya pada anggota organisasi tersebut. Jika pemimpin dan organisasi sudah mampu memberikan perhatian dan manfaat pada anggotanya, kita bisa berharap anggota tersebut akan balik memberi pada organisasi. Iya, dengan kata lain, anggota kita akan loyal pada kita dan organisasi kita. Kalau sudah dilakukan tapi anggotanya tidak juga loyal, harus diperiksa lagi jangan-jangan orangnya memang super pragmatis dan memang cuma mencari keuntungan semata tapi tidak peduli dengan organisasinya. Tinggalkan saja. Karena seperti peristiwa resonansi, di mana benda akan ikut bergetar kalau frekuensinya sama dengan sumber bunyi, orang juga hanya akan bergerak apabila memegang nilai-nilai yang sama dengan pemimpinnya. Jika tidak, lupakan dan cari orang lain dengan nilai yang sama.


Jurnal Presiden #1 - Why

Menoleh ke belakang. Suatu kebiasaan yang sering sekali dilakukan manusia sebelum dia pergi atau berpisah. Bahkan, katanya, manusia akan melihat kilas balik kehidupannya sebelum meninggal dunia. 

Jangan pergi dulu! Tulisan ini tidak akan membahas hal menyeramkan semacam kematian, kok. Saya hanya akan bahas bagian menoleh ke belakangnya tadi. Sebagaimana premis saya sebelumnya, orang-orang biasanya akan menoleh ke belakang ketika mereka pergi atau berpisah dari sesuatu. Bisa tempat, pekerjaan, orang, atau mungkin masa lalu. Kalau saya, kali ini menoleh ke belakang karena akan meninggalkan posisi yang selama satu tahun melekat dalam diri saya. Presiden ISAFIS 2015.

Kata orang bijak, kita tidak boleh terlalu banyak menoleh ke belakang, dan sebaliknya harus selalu memandang ke depan. Ada benarnya memang. Terlalu banyak menoleh ke belakang memang seringkali membuat kita susah untuk move on dari sesuatu, seperti mantan misalnya. Namun, kali ini saya merasa perlu menoleh ke belakang bukan karena saya tidak siap menghadapi apa yang menanti di hadapan saya. Saya merasa perlu menoleh ke belakang untuk melihat apa saja yang telah saya lewati dan pelajaran apa saja yang saya dapatkan dari keseluruhan pengalaman tersebut. Itulah kurang lebih tujuan dari tulisan ini. 

"The only time you should ever look back, is to see how far you have come." - Anonym

Sejujurnya, cukup sulit untuk menceritakan seluruh pengalaman ini ketika saya sudah di ujung jalan. Semestinya, jurnal dibuat secara konsisten selagi kita dalam perjalanan itu sendiri. Jurnal yang dibuat secara rutin dan konsisten akan membuat cerita kita lebih rinci dengan emosi yang kuat karena baru saja dialami. Namun, seperti kata orang bijak (lagi), lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali. Jadi, mari kita mulai.

Mulailah dengan pertanyaan 'kenapa'. Kalau diterjemahkan dalam bahasa Inggris, kalimat tadi akan menjadi Start with Why. Sebuah judul buku yang sedang saya baca saat ini. Buku yang menjelaskan mengapa menemukan alasan kita melakukan sesuatu dan membagikan motivasi tersebut kepada orang lain dapat menggerakkan orang lain untuk bertindak sesuai harapan kita. Selain isi bukunya yang menarik, judul buku ini juga membuat saya mencoba mengingat dan memikirkan kembali alasan saya dulu ingin menjadi presiden.

Kalau dipikir kembali, saya menjadi presiden bukan karena 'apa', melainkan karena 'siapa'. Alasan saya menjadi presiden adalah seorang perempuan yang selama ini menginspirasi saya dengan semua gagasan, tindakan, dan tentu saja prestasinya. Seseorang yang saya anggap sebagai mentor pribadi tanpa pernah diminta kesediaannya. Seseorang yang setiap kali saya butuh bantuan, masukan, dan pertimbangan, selalu bersedia meluangkan waktunya. Seseorang yang setiap kali saya menceritakan masalah, selalu mau mendengarkan dan mampu menumbuhkan kembali semangat saya. Seorang perempuan yang pernah mengemban amanah yang sama dan berkontribusi besar dalam mengembangkan organisasi ini. Seorang mentor, senior, kakak, dan sahabat itu bernama Maya Susanti. Presiden ISAFIS 2012/2013.

Tidak berlebihan kalau saya mengatakan bahwa saya menjadi presiden karena Kak Maya. Saya bergabung dengan ISAFIS pada masa kepemimpinan Kak Maya. Saya mengenal Kak Maya pun lebih banyak lewat ISAFIS. Walaupun saya bukan orang yang paling rajin datang dalam kegiatan rutin, tetapi saya bisa merasakan banyaknya manfaat yang saya dapatkan sebagai anggota saat itu. Salahsatu yang paling berkesan dan membuat ingin sekali berkontribusi pada ISAFIS adalah kesempatan untuk menghadiri the 59th International Student Conference di Jepang. Pengalaman lainnya yang berkesan adalah menjadi head of social events Jakarta MUN 2013, padahal saat itu saya masih mahasiswa tingkat pertama. Selain itu, saya juga berkesempatan menjajal kemampuan saya dalam kegiatan model united nations sebagai trainer dan co-chair pada kegiatan-kegiatan ISAFIS lainnya. Berbagai pengalaman tersebut terjadi pada masa kepemimpinan Kak Maya. Karena itu, bagaimanapun, pengalaman-pengalaman itu akan merujuk pada Kak Maya.

Kalau disederhanakan, ada tiga hal sebenarnya yang paling berkesan dari masa kepemimpinan Kak Maya. Pertama, saya sebagai anggota merasa mendapatkan banyak keuntungan dengan bergabung dengan organisasi ini. Kedua, saya merasa cukup diperhatikan sebagai anggota oleh pimpinan organisasi. Ketiga, banyak prestasi yang ditorehkan oleh kepengurusan saat itu sehingga saya bangga sebagai bagian dari organisasi ini. Ketiga hal tersebut lah yang membuat saya ingin menjadi presiden. Saya ingin menjadi seperti Kak Maya yang mampu menginspirasi saya dengan cara dia memperlakukan anggota dan membuat organisasi ini jadi bermanfaat bagi anggotanya sendiri. Saya ingin orang lain mendapatkan manfaat yang saya dapatkan.

Saya ingin orang lain merasakan apa yang saya rasakan. Itu alasan utama saya ingin menjadi presiden di organisasi ini.

Apakah hanya itu alasannya? Tentu saja tidak. Ada alasan personal lain yang membuat saya ingin menjadi pimpinan tertinggi, alias ketua, alias presiden, di organisasi ini.

Entah karena terobsesi dengan kekuasaan, atau sangat menghargai kepemimpinan, sejak kecil saya selalu merasa senang setiap kali menjadi pemimpin, baik secara formal sebagai ketua organisasi, atau secara informal sebagai 'pentolan' diantara teman-teman satu tongkrongan. Misalnya, ketika saya masih bersekolah di tingkat Sekolah Dasar, saya senang menjadi Ketua Murid dan sering sekali menjadi memposisikan diri sebagai 'pentolan' sampai pernah berhasil membuat hampir seisi kelas memboikot satu orang teman saya yang dianggap tidak bisa dipercaya. Di jenjang-jenjang selanjutnya pun, saya tidak pernah menolak kesempatan untuk menjadi ketua organisasi. Misalnya, saat masih berseragam putih-biru, saya menjadi ketua organisasi rohani Islam (rohis) di sekolah. Masa putib-abu saya pun tidak jauh-jauh dari posisi ketua. Saya sempat menjadi ketua klub bisbol-sofbol sekolah dan majelis permusyawarahan kelas. Sampai saat ini pun, saya senang apabila berada atau dianggap sebagai pemimpin suatu kelompok.

Lagi-lagi masih kata orang (sok) bijak, Ayah adalah idola pertama kita, apalagi anak laki-laki. Mungkin karena itu juga sejak kecil ingin menjadi pemimpin. Karena saya selalu melihat Ayah yang menjadi ketua di mana-mana dan disegani banyak orang. Akibatnya, selain ingin menjadi pemimpin, saya juga selalu merasa punya bakat memimpin. Saking besarnya keinginan dan keyakinan saya itu, saya sering juga ikut pelatihan-pelatihan kepemimpinan. Setiap kali ada pelatihan kepemimpinan di sekolah, saya sering ikut untuk mencari tahu bagaimana caranya agar menjadi pemimpin yang baik. Karena masih sering penasaran dan merasa pelatihan kurang, saya juga rajin membaca buku-buku tentang kepemimpinan dan biografi pemimpin-pemimpin besar dunia. Dari semua itu saya sedikit-sedikit tahu tentang teori-teori kepemimpinan. Itulah yang kemudian menjadi modal saya untuk menjadi ketua di berbagai organisasi semasa sekolah dulu.

Satu masalah dari semua pengalaman organisasi saya: saya mungkin menjadi ketua yang baik, tetapi belum menjadi pemimpin yang baik.

Iya, kita tentu tahu bahwa ketua dan pemimpin bukan hal yang sama. Ketua adalah jabatan, sedangkan pemimpin adalah karakter. Seorang ketua bisa jadi tidak mampu memimpin, tetapi seorang pemimpin pasti mampu menjadi ketua.

Tugas ketua adalah memastikan bahwa pekerjaan organisasi terlaksana sesuai target yang telah ditetapkan sejak awal. Karena itu, menurut saya, selama ini saya adalah ketua yang baik. Kenapa? Karena ketua hanya perlu memastikan semua pekerjaan sesuai dengan standar yang ditentukan. Selama ini, setiap kali menjadi ketua, saya selalu berhasil menyelesaikan tanggung jawab saya. Saat menjadi ketua rohis, hampir seluruh program kerja terlaksana. Saat menjadi ketua klub, tugas pengurus terlaksana sampai akhir. Saat menjadi ketua majelis permusyawarahan kelas, pemilihan umum terlaksana juga dengan baik.

Lalu, di mana masalahnya?

Masalahnya adalah seorang pemimpin semestinya tidak hanya memastikan pekerjaan organisasi selesai. Lebih dari itu, seorang pemimpin semestinya mampu menginspirasi daripada memaksa, memerhatikan daripada memerintah, berkembang bersama daripada sendiri, mendengarkan daripada berbicara, memotivasi daripada menyuruh, dan memenuhi harapan anggota daripada targetan pribadi. Berdasarkan kriteria tersebut, saya merasa bahwa sebelumnya saya tidak mampu menjadi pemimpin dan baru mampu menjadi ketua saja. Karena itu juga saya sadar mengapa saya tidak merasa 'dicintai' anggota saya saat itu. Tentu saja karena saya lebih fokus pada pencapaian organisasi dan lupa akan pentingnya 'mengisi' diri anggota-anggota saya. Saya selalu lebih mementingkan pencapaian target daripada perkembangan anggota, lebih suka menyuruh daripada meminta pendapat, lebih suka mengancam daripada menginspirasi, dan lebih ingin didengarkan daripada mendengarkan.

Inilah alasan pribadi saya untuk menjadi presiden. Saya ingin belajar lagi menjadi pemimpin, bukan hanya ketua. Saya ingin membuat tidak hanya organisasinya yang berkembang, tetapi juga para anggotanya. Saya ingin mampu menginspirasi orang, bukan memaksa, sehingga mereka bekerja bersama saya, bukan untuk saya. Saya ingin mampu menyeimbangkan antara pemenuhan target organisasi dan kebutuhan anggota. Saya ingin menjadi pemimpin yang dicintai oleh yang dipimpinnya.

Saya harus menjadi presiden untuk mendapat kesempatan berubah dan mengubah cara saya dalam memimpin sebuah organisasi. Jabatan ini akan memaksa saya berubah dengan tanggung jawab yang tidak terpisahkan dari jabatan itu sendiri. Saya membutuhkan jabatan presiden untuk bereksperimen dan menemukan formula saya sendiri untuk menjadi pemimpin yang baik. Dengan begitu, saya bisa membuktikan, setidaknya pada diri sendiri, bahwa saya mampu memperbaiki kekurangan saya sebelumnya. Saya mampu berubah. Saya mampu menjadi pemimpin yang baik.

Ternyata, setelah dipikirkan kembali, alasan saya menjadi presiden sangat sederhana. Saya ingin orang lain merasakan apa yang saya rasakan ketika menjadi bagian dari ISAFIS, di samping sebagai bentuk terima kasih saya pada organisasi ini. Lebih personal, saya merasa ISAFIS merupakan tempat yang tepat sebagai tempat belajar dan bereksperimen untuk berubah menjadi individu yang lebih baik, dan tentu juga menjadi pemimpin yang baik.

Sok mulia atau egois, setidaknya saya memiliki alasan ketika memutuskan menjadi presiden tahun lalu.

The Amazing Asian African Parliamentary Conference

Nothing more special in Indonesia this year other than Asian African Conference Commemoration. It is a big celebration of the 60th anniversary of the conference. Everyone, every media, and every institution have an eye for this event. Preparations are started a year before in Jakarta and Bandung as main venues. As far as I know, there are two big government agendas during this commemoration: Asian African Conference and Asian African Parliamentary Conference. Thank God, I got opportunity to involve in Asian African Parliamentary Conference which gave me such priceless experiences.

Asian African Parliamentary Conference


Third Session

ISAFIS member, Audrey (young lady with batik shirt), became interpreter for Palestine Delegation 


The story began when I was informed by Bang Ical, that one of our (ISAFIS) alumni, Bang Fadli Zon, has been automatically became coordinator of Inter-Parliamentary Cooperation Body (BKSAP) as he was elected as Vice Speaker of Indonesian House of Representative. He asked BKSAP to involve student in their Asian African Parliamentary Conference. The idea was accepted and Bang Fadli Zon connected me to Bu Endah, Head of International Partnership Department, who is also in charge for the conference. After several meetings, we (ISAFIS) were requested to be Liaison Officer, part of committee who will accompany delegates and put delegates in contact with the committee. It is a hard yet challenging task. As Liaison Officer, we are front liner of the conference since we are directly deal with delegates who are member or even speaker/vice speaker of their country's parliament that have to be treated well. I myself get Delegation of Pakistan as my responsibility. The delegation consist of two member of parliament: Ms. Nighat Parveen and Mr. Tahir Bashir Cheema.

Official Committee


Welcoming Delegation

ISAFISians in Asian African Parliamentary Conference


Deadlining for my college assignment in the conference venue

Ms. Nighat - Me - Mr. Cheema

To be able to interact directly with important or even very important person is an amazing experience. During the conference, we were there, in every session of the conference, and can personally see how the real international diplomacy goes on. Beside that, we can also learn on how cultures make communication harder or conversely easier. Delegation of Pakistan for examples, has similiarities with me because they are also moslem so that we have many topics to open a conversation. The best part for me is that we can ask directly something from these delegation about their country's policy. As an International Relations student, I have written several reviews or articles regarding Pakistan and South Asia. So, I used this opportunity to confirm what is in books or journals and reality. I asked many things, including Kashmir dispute, nuclear weapon, and Pakistan - India rivality. And you know what? the one whom I asked (Mr. Cheema) is member of defense commission in the parliament that make it easy for him to answer it and the answer is always comprehensive yet simple. I was very excited to listen every answer he gave me because it is coming straight from the policy maker of Pakistan itself. I got many new insights about international issues in South Asia from Pakistan's perspective.

Before I knew it, I thought there will be a gap between Liaison Officer and delegates, since delegates are important person. But, it was actually wrong. Me and other LOs could make a good and close relation with delegates while also keep our respect, because most of them are very nice. Pakistan delegation is also the same. Ms Parveen and Mr. Cheema are very friendly. They are very cooperative with the committee so that I can easily ask them to follow every session of the conference. Because Ms. Parveen left Indonesia first, and Mr. Cheema's flight is three days after conference, I spent my time more with Mr. Cheema.

I actually want to talk more about this Mr. Cheema. After I accompanied Ms. Parveen to airport, I came back to hotel to accompany Mr. Cheema look for some souvenirs. We went to the Grand Indonesia Mall to find purse for his wife and daughters. During our shopping time, we talk many things, about Indonesian culture, families, and also politics. He doesn't like formality. That's why he told me not to be formal with him and he even treated me as his son. It was like I am his son and his interpreter in the same time. He took my advice to visit Alun-Alun Indonesia and bought a batik shirt I chose for him. I gave him a magnetic fridge as a gift.

I started to know (or adore) him more when he asked me to his room and had a conversation with him. Basically, I thought he asked me to accompany him to kill the time because he is alone. During our conversation, we talked about everything. Literally everything. Sometimes he asked me about situation in Indonesia, sometimes he told me about his family (his wife, his sons, and his daughters), sometimes he asked me to tell him more about my family (what my parents do, their backgrounds, my siblings), and sometimes I asked him random questions (mainly things that make me curious). It was a nice conversation and more like dad-son conversation rather than a delegate-LO conversation. Because of the conversation, then I know that he is now elected for the fifth time, that he was a mayor of his hometown, that he is a medical school graduate, that he first elected when he was 21 years old, and in the end somehow it gave me conclusion that he is a family man. I remember one of his advice to me is never cheat to my (future) wife. As long as there is no other woman, he said, there will be no fight in a marriage. There will be arguments, which is normal, but there will be no fight. And if there is another woman, even small things can start a fight.

In the middle of our conversation, he told me why he asked me to come to his room. He said it because he was impressed with my attitude in doing my duty as Liaison Officer. He believes that I am a good person, hardworking, and honest. I was thrilled when I heard all that compliments. I never expected to be appreciated like that. Another reason why he likes me is maybe because I am in the same age with his first son who lives in London for study and I remind him of his son. The most surprising moments during that conversation is when he is inviting me to come and visit his family in Lahore, Pakistan. He even promised me to arrange everything, including the ticket and visa for visiting Pakistan. I was very excited when he told me that. To show his serious intention, he asked me to arrange a dinner with my dad so he can directly tell the invitiation to my dad and ask for permission. Now, I cannot wait to visit Mr. Cheema and his family in Lahore. I hope I can visit him this June as he requested because it will be the time when his first son will also come home for summer vacation.

After dinner with Mr. Cheema

These experiences, working with parliament, spending times with my fellow ISAFISians, seeing international official conference, and meeting officials from all over Asia and Africa is absolutely an unforgettable moments for me. In the meantime, I learnt a lot from this event. But one thing I will never forget is to always mind our attitude, because we will never know how and when opportunity approach us.

"Zikri, I tell you one thing. Struggle until you are 30 years old. After that, enjoy your life." - Mr. Cheema


Wefie after briefing

Gala Dinner

With Delegate from Lao PDR


ISAFISians are taking picture with Mr. Fadli Zon (Vice Speaker) and Ms. Nurhayati Ali Assegaf (Chairman of BKSAP)

Two ISAFIS Presidents from different era

Di ISAFIS Kita Setara

Assalamu'alaikum Warahmatullah..

Dari banyak tempat belajar dan mengembangkan diri di dunia kampus, ada satu tempat yang telah banyak memberikan saya banyak sekali pelajaran. Diawali dari ngobrol santai dengan senior sekaligus mentor saya, Kak Maya Susanti, saya tertarik bergabung di International Student Association for International Studies (ISAFIS). Dua tahun kemudian, di sinilah saya, di posisi yang dulu Kak Maya emban. President of ISAFIS

Kontribusi pertama ISAFIS dalam hidup saya dimulai ketika saya mendapat kesempatan untuk mewakili ISAFIS ke The 59th International Student Conference di Jepang pada tahun 2013 lalu. Kalau bahasa pendiri ISAFIS, Bang Faizal Motik a.k.a Bang Ical, saya ini 'diperawani' ISAFIS. Artinya, saya keluar negeri untuk pertama kalinya berkat ISAFIS. Tahun pertama di ISAFIS, saya dapat tanggung jawab besar karena diminta menjadi Head of Social Events dari  Jakarta MUN 2013, salahsatu acara akbar ISAFIS. Setahun di bawah kepemimpinan Kak Maya, banyak sekali ilmu yang saya serap dari lingkungan orang-orang keren ini. Tahun kedua, saya belajar menjadi konseptor dari Mas Gineng Sakti. Bukan cuma namanya yang sakti, tapi juga ide dan konsepnya. Selama satu tahun, saya mendapat kesempatan untuk lagi-lagi berkontribusi lewat Jakarta MUN 2014 sebagai Director of UNESCO. Menjadi seorang director bukanlah kesempatan yang mudah didapat dan ISAFIS memberikan pengalaman itu. Bahkan, keberhasilan saya menjadi bagian dari delegasi UI untuk The European International MUN di Den Haag sekalipun ada hubungannya dengan ISAFIS. Salahsatu senior saya di ISAFIS, Kak Gea Larissa, merupakan orang yang mendukung dan membantu saya sehingga terpilih. Sekarang, di tahun ketiga saya di ISAFIS, giliran saya melanjutkan tongkat estafet dari Kak Maya dan Mas Gineng. Berkontribusi dan membalas kebaikan organisasi ini pada para penerusnya. 

Satu hal yang selalu dibanggakan dari sebuah organisasi adalah alumninya. Siapa dan sudah menjadi apa para alumni seringkali menjadi ukuran besarnya suatu organisasi. Berdasarkan hal tersebut, boleh dibilang ISAFIS merupakan organisasi yang bukan sembarang organisasi. Para pendiri dan alumni ISAFIS merupakan tokoh-tokoh yang dipandang di negeri ini. Beberapa nama, seperti Faizal Motik, Irma Hutabarat, Imam Prasodjo, Hikmahanto Juwana, Adnan Pandu Praja, dan Fadli Zon bukanlah nama yang asing di telinga kita, Mereka semua telah menjadi orang-orang penting di negeri ini dengan keahliannya di bidang masing-masing.

Para Alumni ISAFIS


Tahun ini, tepatnya tanggal 14 Februari, ISAFIS menyambut hari ulang tahunnya yang ke-31. Seperti biasa, kami diundang untuk bersilaturahmi, diskusi, dan makan-makan bersama alumni di rumah sekaligus sekretariat organisasi, Jalan Banyumas No. 2, Menteng. Ini merupakan kesempatan langka bagi kami para anggota maupun pengurus yang sedang menjabat untuk bertemu dan bertukar pikiran langsung dengan para pendiri organisasi kami. Selama acara silaturahmi kemarin, banyak sekali pelajaran dari alumni dan juga kejadian lucu yang terjadi.

ISAFIS New Members

Special Edition Mug 

Budayakan Antre

Makan Bareng Presiden Terdahulu

Setelah makan-makan lengkap dengan pencuci mulutnya, saya mewakili teman-teman pengurus mempresentasikan ISAFIS pada masa kita. Acara akbar ISAFIS, seperti Indonesia International Week dan Jakarta MUN juga dipresentasikan melalui video. Setelah itu, saya memperkenalkan Board Executive maupun Board of Director yang akan bekerja sama dengan saya selama satu tahun ini. Di penghujung presentasi, saya menawarkan alumni mug dan kaos ISAFIS yang memang telah disiapkan sebagai salahsatu strategi fundraising kita. Satu paket mug limited edition plus kaos dan goodie bag kami banderol seharga Rp150.000,00. Ketika saya sedang menawarkan merchandise tersebut, tidak disangka Bang Ical membantu kami promosi dan membuatnya jadi lelang. Harga awal tiba-tiba naik jadi Rp1.000.000,00, lalu ada lagi yang menawar Rp2.000.000,00, dan paling tinggi terjual dengan harga Rp3.000.000,00. Dari 20 buah mug yang kami siapkan, dengan hanya menjual setengahnya saja kita mendapat dana sebesar Rp10.300.000,00. Ini benar-benar di luar dugaan dan membuat saya senang sekaligus terharu karena para alumni ini begitu peduli dengan ISAFIS maupun adik-adiknya. Dana itu sangat berarti buat kami karena akan dikelola untuk kegiatan-kegiatan ISAFIS selama satu tahun ini.

Presentasi ISAFIS 2015

Cerita ISAFIS ke Alumni

Promosi Mug Edisi Spesial 31 Tahun ISAFIS

Bang Yendi - Donasi Rp2.000.000,00 

Bagian pengurus selesai, dimulailah diskusi atau sharing alumni. Pertama, Prof. Hikmahanto Juwana yang memulai diskusi. Sebagai bagian dari Tim Sembilan yang diberi tugas oleh Presiden Jokowi untuk memberi pertimbangan dalam masalah antara KPK dan Polri, Bang Gihik ini cerita tentang situasi terkini dan memaparkan bahaya korupsi. Bang Gihik cerita bagaimana beratnya terlibat dalam posisi beliau sekarang yang penuh ancaman dan bagaimana beliau juga terlibat dalam penyelesaian masalah yang sama beberapa tahun sebelumnya ketika polemik KPK dan Polri juga pernah terjadi. Lebih lanjut, Bang Gihik memperingatkan dengan tegas untuk menjaga ISAFIS dari praktik-praktik yang mengarah pada korupsi karena banyak sekali organisasi yang katanya organisasi pemuda sekalipun terlibat hal-hal semacam itu.

Bang Gihik Memulai Diskusi

Cerita Prof. Hikmahanto Juwana disambung oleh Dr. Imam Prasodjo. Bang Imam yang juga kini berada di Tim Sembilan ini lebih banyak bernostalgia dengan ISAFIS. Bang Imam cerita bagaimana awalnya ISAFIS terbentuk untuk memperluas kesempatan mahasiswa Indonesia ke luar negeri yang saat itu dimonopoli oleh KNPI sebagai organisasi di bawah kendali Presiden Soeharto. Selain itu, ISAFIS juga menjadi semacam kamuflase dengan namanya 'International Studies' agar tidak terlalu disorot intelijen apabila berdiskusi. Banyak sekali cerita menarik dan lucu dari Bang Imam tentang ISAFIS. Sepanjang cerita, berkali-kali tawa lepas alumni maupun pengurus terdengar. Bang Imam selalu bilang bahwa di ISAFIS kita belajar tetap percaya diri meskipun berhadapan dengan orang-orang yang lebih tinggi pangkatnya karena memang di ISAFIS sering sekali bertemu orang-orang penting, persis seperti saya bertemu alumni-alumni tersebut. Di ISAFIS kita semua setara.

Menurut Bang Imam, karakter alumni ISAFIS bisa dikategorikan secara umum ke dalam tiga kategori. Pertama, socio-political advocation yang fokus kepada penyelesaian masalah sosial dan politik lewat melalui advokasi. Misalnya, Prof. Hikmahanto, Adnan Pandu Praja, dan Irma Hutabarat. Hanya, menurut Bang Imam, anak ISAFIS bukan tipe yang turun ke jalan dalam caranya memperjuangkan suatu gagasan. Anak ISAFIS itu caranya harus elegan, menyampaikan gagasan dan berdebat secara santun dalam seminar atau forum lainnya. Kedua, social service provider yang berusaha menyelesaikan masalah dengan menyediakan berbagai fasilitas untuk orang yang membutuhkan. Orang-orang dalam kategori ini tidak mencari keuntungan tapi benar-benar berusaha memberikan sesuatu untuk masyarakat. Alumni yang seperti ini, contohnya Geisz Chalifah dan Irma Hutabarat yang banyak membantu orang-orang 'gak punya'. Ketiga, social entrepreneur yang berusaha menyelesaikan permasalahan sosial dengan menciptakan peluang kerja bagi banyak orang. Menurut Bang Imam, sekarang ini dibutuhkan banyak orang dengan karakter seperti ini. Karena tanpa jiwa entrepreneurship, ISAFIS tidak akan bisa berjalan jauh. Bang Ical dan Bang Harry Samputra merupakan contoh terdekat bagaimana alumni ISAFIS memiliki jiwa entrepreneurship. Bang Imam menutup ceritanya dengan nasehat agar anak-anak ISAFIS memiliki enam karakter yang sangat penting untuk memperbaiki bangsa, yaitu honesty, responsibility, fairness, rationality, courage, dan tolerance.

Bang Imam Sedang Nostalgia ISAFIS

Orang terakhir yang cerita tentang ISAFIS adalah Inang Irma Hutabarat, begitu beliau minta dipanggil. Pendiri Indonesia Corruption Watch (ICW) ini cerita mengenai upaya kriminalisasi KPK yang tengah terjadi. Inang Irma cerita bagaiman dirinya terlibat dalam perumusan undang-undang dan pendirian lembaga negara bernama KPK. Melalui ceritanya, Inang Irma berharap anak-anak muda tidak lupa sejarah bangsanya sendiri. Menurut Inang Irma, sejak awal KPK dibentuk untuk 'menghajar' institusi kepolisian dan kejaksaan yang pada masa Orde Baru begitu korup. Karenanya, wajar jika KPK akan selalu mendapat serangan dari pihak-pihak tersebut. Hal yang sama juga terjadi di Hongkong ketika pemberantasan korupsi dilakukan di sana. Inang Irma juga berpesan untuk menjaga ISAFIS dan anggotanya agar jauh-jauh dari korupsi karena korupsi itu bagai kanker yang menggerogoti hidup suatu negara.

Inang Irma Mengingatkan Proses Lahirnya KPK

Kalau sudah diskusi di rumah Bang Ical itu waktu tidak terasa. Tahu-tahu larut malam seperti juga kemarin. Diskusi panjang lebar akhirnya diakhiri dengan berdoa bersama dan tiup lilin sebagai acara simbolis. Doa yang panjang dan mengharukan dipimpin oleh Bang Ical dan kemudian bersama Bang Imam, Inang Irma, dan Bang Ical, saya meniup kue ulang tahun ISAFIS.

Berdoa Untuk Kebahagiaan dan Keselamatan Keluarga Besar ISAFIS

Tiup Lilin Bareng Para Pendiri
Imam Prasodjo - Irma Hutabarat - Faizal Motik - Ilman Dzikri

Acara kemarin buat saya sangat membahagiakan sekaligus mengharukan. Semoga teman-teman pengurus tahun ini bisa berkembang bersama di ISAFIS dan juga bisa mencintai organisasi ini sebagaimana alumni dan juga saya mencintainya.

Selamat Ulang Tahun ke-31 ISAFIS! Jaya Selalu!

Presiden Lintas Generasi
Ilman Dzikri (2015) - Faizal Motik (1984)

Foto Bersama Bang Imam

Foto Bersama Bang Ical, Inang Irma, dan Bang Gihik

Foto Sama Bang Geisz Chalifah


Ketemu Bang Adnan Pandu Praja Setelah Acara Selesai.
Alhamdulillah bisa ngasih dukungan langsung ke Bang Pandu dan KPK tanpa harus turun ke jalan.