Politik Kotor? Lantas Siapa Yang Membersihkan?

11:51 2 Comments





















"Apa yang pertama kali muncul di kepala lo ketika ngedenger kata politik?"

Sebagian dari kita mungkin akan menjawab dengan kekuasaan, kepentingan, pengaruh, atau istilah terkait politik lainnya. Namun, saya percaya, banyak dari kita akan mengeluarkan jawaban-jawaban yang cenderung bernada negatif, seperti "politik itu kotor", "politik itu sarang korupsi", "politik ajang berebut kekuasaan", atau "meraih jabatan dengan menghalalkan segala cara". Jika melihat situasi Indonesia hari ini, tidak heran memang persepsi bahwa politik itu kotor masih cukup dominan di masyarakat. 

Sedari masa Orde Baru, dunia perpolitikan Indonesia memang belum bisa dibilang membanggakan. Pengalaman dipimpin selama 32 tahun oleh presiden yang sama, dibarengi korupsi, kolusi, serta nepotisme yang menjalari pemerintahan tentu menumbuhkan persepsi buruk dalam kepala kita tentang politik dan birokrasi. Kini, hampir dua dekade reformasi bergulir, masalah-masalah tersebut belum juga selesai. Setiap hari media massa memberitakan terungkapnya kasus korupsi, dari penangkapan kepala daerah sampai anggota dewan. Seakan-akan ingin menegaskan bahwa korupsi semakin merajarela di negeri ini. Di sisi lain, para elit politik juga sudah tidak malu-malu lagi memuaskan hasrat akan kekuasaan dan keserakahannya meskipun itu bertentangan dengan kepentingan rakyat. Ramai-ramai mereka membela kepentingan pribadi dan golongan di hadapan rakyat yang kemudian hanya bisa mencaci atau akhirnya pasrah. Dengan begitu banyaknya pemberitaan negatif dari dunia politik nasional, tidak heran persepsi politik menjadi sangat negatif bagi kita.

Salahsatu akibat dari buruknya citra politik di negeri ini adalah perginya anak-anak muda dari ranah ini. Kita, sebagai anak muda yang identik dengan semangat menggebu-gebu dan idealisme tinggi, sudah terlanjur menganggap politik itu kotor. Daripada masuk ke dunia politik, kebanyakan dari kita tentu akan memilih bekerja di korporasi atau perusahaan multi-nasional yang kita yakini mampu menjamin masa depan kita dan menjauhkan kita dari kebobrokan politik maupun pemerintahan negeri ini. Kalaupun ada sebagian dari kita yang dengan idealismenya ingin memperbaiki keadaan, pada akhirnya lebih memilih mundur secara teratur ketika dihadapkan pada risiko-risiko yang harus dihadapi apabila menentang arus.

Sayangnya, tanpa disadari, keputusan kita untuk menjauhi politik karena citranya yang buruk berdampak pada kondisi politik itu sendiri. Bayangkan apabila seluruh anak-anak muda yang cerdas dan memiliki idealisme enggan berkiprah di dunia politik. Apa yang akan terjadi? Jika seluruh anak muda yang cerdas dan memiliki idealisme meninggalkan politik, tentunya dunia politik akan diisi oleh orang-orang dengan kemampuan seadanya dan parahnya tanpa idealisme. Persis dengan kondisi politik nasional hari ini. Politik nasional kita dipenuhi oleh orang-orang yang (seringkali) bukan orang terbaik di bidangnya dan rela menjual negara untuk kekayaan pribadi.









Tapi, apakah benar politik itu kotor? Jika kita merujuk pada para pemikir dan akademisi ilmu politik, tidak ada satupun makna negatif dalam pengertian politik. Sebaliknya, politik selalu dikaitkan dengan pengambilan keputusan, kepentingan masyarakat luas, dan menciptakan kehidupan yang lebih baik. Kekuasaan memang pada akhirnya bergantung dari pemegangnya. Apabila orang baik yang berkuasa, kebaikan akan tersebar luas. Sebaliknya, apabila orang jahat yang berkuasa, kerusakan yang akan merajarela.

"Politik adalah bermacam-macam kegiatan dalam suatu sistem politik atau Negara yang menyangkut proses menentukan tujuan-tujuan sistem itu dan melaksanakan tujuan-tujuan itu. Politik diartikan sebagai usaha-usaha untuk mencapai kehidupan yang baik." - Miriam Budiardjo (Guru Besar Ilmu Politik Universitas Indonesia)

Untuk menjawab pertanyaan "apakah politik itu kotor?", saya juga sempat mengobrol dengan Ayah saya sendiri yang sudah lama berkecimpung di dunia politik. Menurut Ayah, jika kita takut berpolitik karena kita berpikir politik itu kotor dan penuh orang-orang jahat, seperti debu yang ada di mana-mana, kejahatan juga ada di semua bidang pekerjaan. Orang jahat memang bukan hanya dari kalangan politisi, kan. Dokter, pengacara, polisi, direktur, pengusaha, dan insinyur pun ada yang jahat atau curang dalam menjalankan profesinya. Artinya, mau menjadi apapun kita, bekerja di bidang apapun, kita bisa memilih untuk menjadi orang baik atau orang jahat. Meskipun sistem dan lingkungan berpengaruh, pada akhirnya, kita yang paling berperan menentukan, bukan.

"Sebagaimana semua bidang pekerjaan lainnya, politik bisa menjadi jalan bagi kita menuju surga, atau sebaliknya, neraka." - Berliana Kartakusumah
Secara sederhana, berpolitik, merebut kekuasaan, dan mengambil bagian dalam pengambilan keputusan bisa membawa kita ke surga manakala kekuasaan itu kita gunakan untuk mensejahterakan banyak orang. Manakala kekuasaan itu hanya digunakan untuk kepentingan pribadi sehingga menyengsarakan banyak orang, tentu saja kekuasaan tersebut akan menyeret kita ke neraka. Hal tersebut karena setiap kebijakan yang lahir dari proses politik akan berdampak tidak hanya kepada segelintir orang. Kebijakan yang diambil akan berdampak pada ribuan, jutaan, bahkan hingga 250 juta orang jika kebijakan tersebut bersifat nasional. Sebagaimana sebuah koin, politik memiliki dua sisi. Sayangnya, sepertinya lebih banyak dari kita yang melihat politik dari sisi gelapnya daripada berusaha melihat politik sebagai peluang untuk melakukan perubahan secara masif.

Lalu, mengapa hanya sedikit orang yang melihat politik sebagai sarana mencipta perubahan? Persepsi negatif yang terlanjur tertanam dalam benak masyarakat dan kebobrokan politik serta pemerintahan yang sudah berlangsung lama bisa dikatakan sebagai penyebab munculnya skeptisme terhadap politik dan pemerintah. Menghadapi berbagai masalah di sekitar kita, kebanyakan dari kita sudah lelah berteriak namun diabaikan pemerintah. Daripada menunggu pemerintah berbuat, sebagian dari kita berinisiatif mencarikan solusi melalui program atau gerakan yang mereka gagas.


Tidak ada yang salah dari mencari solusi dan menginisiasi gerakan perubahan. Namun, tidak semua dari kita paham bahwa pada akhirnya perubahan di tataran politik dan pemerintahan tetap dibutuhkan. Ini membuat kita seringkali lupa bahwa akar permasalahan dari situasi di negeri ini salahsatunya adalah para pengambil keputusan dan kebijakan yang tidak benar-benar menjalankan tanggung jawabnya untuk mensejahterakan rakyat. Akibatnya, banyak perubahan yang kandas di tengah jalan karena terbentur regulasi atau bahkan dicekal oleh penguasa yang tidak suka dengan gagasan perubahan tersebut.

Jika ingin benar-benar membuat perubahan, usaha penyelesaian masalah sudah semestinya dimulai dari mencari akar masalahnya untuk kemudian diselesaikan dari penyebab masalah tersebut muncul. Ketika melihat banyaknya masalah pendidikan di negeri ini, tidak bisa hanya dengan mengajak seluruh lapisan masyarakat ambil bagian dari penyelesaian masalah pendidikan. Karena itulah Anies Baswedan tidak berhenti ketika telah berhasil menggagas gerakan Indonesia Mengajar, tetapi turut berpolitik sehingga dapat menjadi Menteri Pendidikan seperti sekarang. Kini, dengan posisinya sebagai pimpinan institusi pendidikan di negeri ini, beliau tentu lebih leluasa mencipta perubahan dan mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana yang dicita-citakannya dalam gerakan Indonesia Mengajar. Pada kasus lainnya, ketika kita melihat kota tempat kita semrawut, tidak bisa hanya dengan menggagas forum komunitas untuk mengubah infrastruktur kota melalui kreativitas dan perencanaan. Seperti Ridwan Kamil yang tidak berhenti dengan menyumbangkan gagasan untuk Kota Bandung melalui Bandung Creative City Forum, tetapi kemudian berpolitik dan menjadi Walikota Bandung. Sekarang, seperti yang kita ketahui, Ridwan Kamil dengan posisinya terus membenahi infrastruktur Kota Bandung dengan menekankan perencanaan dan kreativitas sebagaimana yang dia cita-citakan.

Perubahan melalui politik yang diarahkan pada pemerintahan dapat berdampak luas karena dua hal: Negara (pemerintah) memiliki kewajiban untuk mengangkat taraf hidup masyarakatnya dan pada saat yang sama memiliki sumber daya besar untuk mengimplementasikan perubahan secara masif pada skala yang lebih luas.

Jadi, masih beranggapan politik itu kotor? Masih enggan berpolitik?

Ayo ubah cara pandang kita sebelum kita ubah praktik politik di negeri ini!

Ilman Dzikri

Some say he’s half man half fish, others say he’s more of a seventy/thirty split. Either way he’s a fishy bastard.

2 comments:

  1. Nice view and spirit. However, your last sentence is quite doubtful. Changing a practice within a 'politics' field is not as easy as a group of good people going in and trying to be antidotes. To be accepted in a certain field, a person or a group of people must comply with the culture and daily interaction within that field before they change the "rule of the game". It will take a long time. Even if these good people have reached certain hierarchical level in the field, there is no guarantee that they still 'remember' to issue the 'antidote'.

    This is only a response from me who is getting immersed to what I have been reading. Yet, you know way better in the practical basis than I do and I appreciate your positive view. (I still consider to be a politician tho haha)

    ReplyDelete
  2. First of all, thank you for leaving comment after reading the article.

    Eventhough the fact that you can only give comment to the last sentence is dissapointing, I have to agree to your comment as it is the conclusion of our discussion in one of our class, before we presented our draft research proposal.

    So, yeah, it is true that changing the rule of game is not easy. But if we want to change it, someone must start it.

    ReplyDelete