Kesempatan Memilih

21:32 2 Comments

Assalamu'alaikum Warahmatullah

Saat ini saya sedang di rumah. Disebut rumah karena Ayah, Bunda, dan saudaraku tinggal di sini. Di Depok juga saya ada rumah. Disebut rumah karena setiap hari tidur dan bangun di sana. Walaupun orang bilang itu kost. Hari ini hari Sabtu. Malamnya disebut malam Minggu. Saya senang bisa di sini hari ini. Makan gratis, minum gratis, ngemil gratis. Sebenarnya sih, saya ga pengen sering-sering pulang kampung. Begini-begini, saya tuh perantau tulen. Meskipun hanya merantau sejauh 157 km dari rumah ke UI yang juga cuma dipisahkan tol Purbaleunyi, rasanya ga enak aja kalo pulang tapi ga bawa sesuatu dari perantauan. Seperti liburan lalu misalnya, pulang bawa kabar nilai IP pertama yang alhamdulillah bagus. Tapi kali ini, saya pulang dengan tujuan mulia  dan penuh tanggung jawab untuk menggunakan hak pilih saya. Selain itu juga, sekaligus pelarian dari perkuliahan yang mulai semakin berat. Kalo kata orang sunda tuh sweet escape. Tentu saja ini orang sunda yang udah belajar bahasa inggris. Tapi intinya, sebagai warga Bandung dan Jawa Barat, saya ingin menggunakan hak pilih saya dalam pilkada alias pilgub Jawa Barat. Pemilu pertama saya, sob!

Sebelum lanjut, mau curcol dulu deh alias curhat colongan. Curhat aja, soalnya kalo mobil yang dicolong, takutnya dipenjara. Kemarin tuh ada sedikit pelajaran saat mau pulang ke Bandung. Kemarin itu saya memilih pulang menggunakan bis. Alasannya, selain harganya lebih murah 10 ribu rupiah dari travel, tempat berhentinya juga lebih dekat ke rumah, bis itu ga perlu booking segala. Entah kenapa saya malas untuk urusan pesan tempat. Menurut saya, lebih nyaman aja gitu kita pergi dengan kita yang menentukan waktunya. Asal tau jadwal bisnya sih. Lanjut ya, setelah kuliah 3 SKS, saya shalat, mampir ke "Welcoming Staff BEM FISIP 2013" di Auditorium Juwono Sudarsono, lalu tepat pukul 17.00 bergegas pergi ke halte UI. Dengan bantuan Bikun alias Bis Kuning dan ridha dari Allah SWT, pukul 17.16 saya telah tiba di halte UI dengan selamat, sejahtera, den sehat sentausa. Perlu kalian tau, satu-satunya bis Bandung-Depok dan sebaliknya itu adalah bis MGI. Jadwal keberangkatannya setiap jam dari terminal Depok. Sampai halte UI biasanya setengah jam kemudian. Begitulah yang saya tau dari survey langsung saya ke terminal pada tahun lalu. Biasanya pun memang begitu. Rencana saya sore itu adalah saya menunggu bis keberangkatan pukul 17.00 yang sampai halte UI setengah jam kemudian dan akan tiba di Bandung sekitar jam 8 atau paling lambat jam 9 malam. Dengan begitu, saya bisa makan malam tepat waktu dan cukup istirahat. Anehnya, bis MGI ga muncul-muncul pada waktu yang sesuai perkiraan seharusnya sudah sampai. Awalnya mikir mungkin telat dari terminalnya, tapi sampai pukul 18.00 masih ga muncul juga. Artinya pasti udah lewat bisnya. Otomatis saya tunggu lah bis selanjutnya. Saya pantengin tuh jalan dengan seksama. Menanti tanda-tanda datangnya bis biru dengan tulisan MGI besar di bagian depan. Lagi serius-seriusnya mantengin jalan, tiba-tiba beberapa supir taksi yang lagi mengobrol di samping saya tertawa. Dengan rasa ingin kepo, saya tengok kiri untuk tau apa yang dibicarakan. Sadar saya ga mengerti apa yang buat mereka tertawa, saya kembali mantengin jalan. Kejadiannya sangat cepat. Ketika saya akan memalingkan wajah saya kembali ke kanan, di depan saya melintas bis warna biru dengan tulisan MGI besar di badannya. Bis itu melaju dengan cepat dan anggun, bagaikan wanita sombong yang enggan menyapa. Dafuq! Padahal cuma nengok bentar, cuma meleng bentar, tapi langsung kehilangan kesempatan untuk pulang sesuai rencana. Saya langsung kesel banget, sumpah deh. Itu pukul 18.06 waktu handphone bagian pojok kanan atas, saya ingat sekali. Wajar dong kesel, saya kehilangan kesempatan untuk pulang sesuai rencana agar bisa makan malam tepat waktu dan tidur dengan cukup. Cuma meleng beberapa detik aja, sob, dan saya harus menunggu satu jam lagi untuk dapat bis selanjutnya. Kalo ada ayam bakar, udah saya kunyah kali tuh ayam saking keselnya. Kan enak tuh nunggunya kalo sambil makan timbel. Untunglah, di masa kegalauan itu saya bisa berpikir jernih. Tidak memutuskan untuk gantung diri di Monas. Sambil kesal, dalam hati saya berbicara pada diri sendiri, "Bego banget sih, Man, kepo sama supir taksi sampai ketinggalan bis.". Setelah itu saya malah memikirkan tentang kesempatan. Orang bilang kesempatan itu seringkali hanya datang sekali. Karena itu jangan pernah melewatkan kesempatan yang datang dalam hidup kita seperti saya melewatkan bis tadi. Singkat cerita, saya kembali menunggu bis selanjutnya yang tiba di halte UI pukul 19.26. Menunggu dengan serius sambil bertekad tidak akan teralihkan perhatiannya meskipun supir taksi tadi nari gangnam style. Akhirnya, saya tiba di rumah tiga setengah jam kemudian dengan selamat dan sedikit lelah.

Bis MGI Bandung - Depok

Pelajarannya belum beres, sob. Ada dua hal yang terkait antara kejadian menunggu bis dengan tujuan saya pulang. Sebagai warga Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) yang udah lulus 2 SKS mata kuliah Pengantar Ilmu Politik, saya sadar bahwa masih banyak masyarakat kita yang apatis terhadap politik. Ini merupakan sebuah masalah. Sudah terlalu banyak rakyat yang kecewa dengan para politisi tanah air dengan berbagai kasus korupsi, intrik, dan masalah lainnya. Rakyat juga sudah banyak yang kecewa dengan partai politik. Saat kampanye berjanji mementingkan rakyat, tapi sudah berkuasa mementingkan golongan. Parahnya, rasa muak terhadap politisi dan partai ini berimbas pada tumbuhnya sikap apatis terhadap proses politik. Tumbuh stereotype bahwa politik itu kotor sehingga mereka tidak ingin terlibat dalam segala bentuk proses politik. Sayangnya, sikap ini juga tumbuh di kalangan kaum muda, di antaranya juga mahasiswa. Ketika ada masalah yang mengganggu mereka, kaum muda ini yang sangat kritis. Tidak jarang mereka berkomentar keras bahkan mencela pemerintah yang dianggap tidak becus. Tetapi, ketika datang masa pemilu, mereka malah menjadi golongan putih alias golput yang tidak menggunakan hak pilihnya. Dari pelajaran yang saya dapatkan selama kuliah, saya tau bahwa sikap apatis bisa timbul diantaranya karena kurangnya pemahaman, sikap pesimistis, atau mungkin ketidakpedulian masyarakat. Kurangnya pemahaman akan membuat masyarakat tidak sadar bahwa suara mereka dalam pemilu sangatlah penting dan berpengaruh dalam proses politik di masa depan. Sikap pesimistis timbul akibat kekecewaan masyarakat terhadap pelaku politik sehingga mereka menganggap semua pilihan sama saja dan siapapun yang terpilih tidak akan membawa banyak perubahan terhadap mereka. Terakhir, selalu saja ada golongan yang tidak peduli dan lebih memilih berbisnis, bepergian, atau melakukan kegiatan pribadi lainnya di saat pemilihan sehingga mereka tidak menggunakan hak pilihnya. 

Jika dikaitkan dengan kesempatan, sesungguhnya pemilu adalah kesempatan besar dalam mengubah proses politik yang selama ini membuat kita kecewa dan tidak jarang kita cela. Kesempatan ini adalah kesempatan yang jarang terjadi karena hanya terjadi sekali dalam lima tahun. Sudah sepantasnya kesempatan ini tidak kita lewatkan sebagaimana kesempatan lainnya dalam hidup kita. Kita selalu ingin pemerintah bekerja dengan baik, tapi itu tidak berarti jika kita enggan terlibat dalam memilih pemimpin yang akan bertanggung jawab atas daerah kita. Kita protes ketika melihat jalan rusak, banjir, korupsi, dan masalah lainnya, namun sering kali tidak peduli untuk terlibat dalam memilih pemimpin baru. Inilah saatnya kita untuk memperbaiki semua itu. Setiap suara rakyat adalah penting dan berpengaruh dalam proses politik. Ketidakpedulian berarti membiarkan ketakutan menang atas diri kita. 

Pada akhirnya, memilih untuk tidak memilih adalah sebuah pilihan yang harus dihormati. Menarik bahwa terkadang beberapa orang memiliki alasan kuat, setidaknya bagi diri meraka, untuk golput. Misalnya, sebagian akademisi sosial memilih golput sebagai bentuk penjagaan diri terhadap objektivitas mereka dalam kajian ilmu sosial. Namun, bagi saya, tidak memilih bukanlah pilihan. Apapun pilihan kita, tentu saja akan berpengaruh di masa depan. Lebih baik terlibat dalam proses terjadinya masa depan itu daripada hanya jadi penonton yang kemudian mencela padahal dirinya bukan bagian dari prosesnya. 

Akhir kata, "Ayo gunakan hak pilih kita! Pilihan kita masa depan kita!"

Wassalam

Ilman Dzikri

Some say he’s half man half fish, others say he’s more of a seventy/thirty split. Either way he’s a fishy bastard.

2 comments:

  1. Yang aku sorotin di post ini malahan kejadian konyol meleng dari bus MGI lah, bukan pilkada nya. Bikin ngakak hahahahaha. Derita anak rantau.

    ReplyDelete
  2. Mo nanya nih, sekarang harga tiket MGI Bandung-Depok (UI) berapa ya? terus berangkat dari terminal Leuwi Panjang jam berapa? Kalo travel, biasanya apa aja dan harga tiketnya berapa? Nuhun infonya, Gan :)

    ReplyDelete