Don't Promise Something You Can't Finish

19:51 0 Comments

Selamat! Anda berhasil kembali menulis.

Ucapan itu bukan buat kamu yang baca, kok. Itu buat saya yang terakhir kali nulis di blog ini bulan Oktober lalu. Udah lama ya? Emang. Lama banget malah. Hehehe..

Bukan karena sok anti-mainstream, melainkan karena emang telat aja, saya nulis sesuatu tentang tahun baru tidak pada waktunya. Yup! Hal yang identik dengan Tahun Baru, selain kembang api dan gajian (mungkin) adalah resolusi. Karena emang momen-nya 'pas' buat memulai hidup baru, kali ya. Biasanya sih orang-orang bikin evaluasi tentang apa aja yang udah dilakukan selama satu tahun dan bikin solusi untuk memperbaiki yang kurang pada tahun yang akan datang. Bagus kan? Bagus sih, asal jangan nikah tiap tahun aja mentang-mentang orang nikah biasanya diselamatin pake "Selamat Menempuh Hidup Baru". Tapi, boleh juga kok kalau emang mau nikah, kaya orang tua saya yang nikahnya bulan Januari.

Sumber: kbbi.web.id

Nah, sesuai dengan definisinya, resolusi itu biasanya dibuat jadi daftar apa aja yang bakal dilakukan atau diperbaiki. Misalnya, bikin resolusi untuk bangun lebih pagi (yang biasanya gagal di hari pertama karena ikut tahun baruan), lari pagi seminggu sekali (sambil cari jodoh), makan tiga kali sehari (anak kosan banget), lupain mantan (no offense), atau bisa jadi memperpanjang resolusi yang hampir habis masa berlakunya. Semuanya sah-sah aja, asal tidak melanggar hukum dan mencuri uang rakyat. Toh setiap orang punya kebutuhan yang berbeda.

Tahun lalu buat saya pribadi adalah tahun belajar. Belajar banyak hal baru, tepatnya. Beberapa pencapaian selama satu tahun kemarin pun rasanya bonus dari proses belajar yang dilakukan.

Belajar menulis ilmiah lewat LIMAS FISIP UI, PKM GT yang dikerjain bareng Kak Azira dan Murrin diapresiasi medali perak. Dari sana, saya belajar inspirasi itu bisa datang dari mana aja, bahkan dari seorang sopir taksi sekalipun. Selain itu, belajar presentasi dengan waktu yang sangat singkat (10 menit), padahal pembicaranya ada tiga. Mau gak mau sebagian materi harus dihafal dan dicoba dulu biar gak kelewatan waktunya. Belum lagi harus melawan rasa grogi karena pengujinya dosen-dosen berprestasi.

Belajar debat bahasa Inggris, setelah cuma bisa terbata-bata saat satu tim dengan Aisyah di National Newbie Debating Championship, bisa sampai jadi octofinalist di Gadjah Mada Debating Tournament bareng Hans dan Oka. Selalu kebayang keseruan selama lomba kalau ingat ini. Pergi jauh bareng teman-teman itu selalu menyenangkan. Belum lagi cerita-cerita lucu yang tercipta selama lomba. Kalau diingat-ingat, dulu tuh rasanya malu banget waktu pertama kali ikut lomba. Udah ngomongnya gak jelas karena kebanyakan jedanya waktu ngomong, isinya juga sedikit banget, sampai-sampai waktu bicara yang tujuh menit itu jarang digunakan sepenuhnya. Namun, berkat itu, ada motivasi tambahan untuk berkembang. Pada lomba selanjutnya, ada peningkatan dari berbagai aspek. Saya bisa lebih percaya diri dan (agak) offensive saat menyampaikan speech. Terus juga argumennya lebih rapi dan jelas. Ada lagi yang berkesan itu waktu kita dipuji juri dan dibilang debatnya inspiring. Wah! Itu rasanya senang gak ketolong deh. Pelajaran lainnya adalah tentang menjaga emosi, pentingnya mendengarkan teman satu tim, dan saling mendukung. Soalnya, tim kita tuh kalah salahsatunya karena kita berantem di debat terakhir dan gak kompak. Huft.

With EDS UI on GMDT

Oh iya, tahun lalu tuh saya ikut juga seleksi untuk jadi delegasi UI di The European International Model United Nations. Setelah ikut beberapa tahap yang lumayan ketat dengan saingan yang juga veteran-veteran, akhirnya bisa jadi bagian dari UI TEIMUN Team. Ini tuh tantangannya besar. Sejak tiga tahun lalu, delegasi UI selalu berhasil bawa pulang penghargaan dari kompetisi ini. Semacam tanggung jawab untuk delegasi kita melanjutkan tradisi juara. Padahal, saya masih ingat waktu wawancara saya bilang salahsatu motivasi saya itu biar bisa menjejak Eropa sebelum nantinya melanjutkan kuliah di sana. Amin.

Tahun lalu juga punya kenangan penting karena pertama kalinya ke luar negeri. Agak gimana gitu, ya, tapi emang pengalaman berharga sih ke Jepang kemarin itu. Pertama kalinya ikut konferensi internasional dan melihat langsung kebudayaan dari berbagai negara. Sekarang jadi punya teman internasional, cuy. Keren gitu deh kalau buka facebook ada status yang saya gak ngerti artinya. Wajar lah, soalnya itu kalau gak bahasa Jepang, Israel, Vietnam, atau Filipina. Pelajarannya adalah bahwa peluang ke luar negeri tuh banyak, kok. Selain itu, kita juga gak kalah pintar sama orang-orang dari negara maju. Setahu saya sih, bedanya mereka itu pendidikannya lebih spesifik sehingga mereka punya spesialiasi terhadap bidang-bidang tertentu. Kalau kita kan agak kurang fokus, ya. Pelajaran di Sekolah Dasar aja bisa belasan jumlahnya.

Table 4 ISC 59 - Gender Equality!

Kalau sebelumnya tentang pencapaian, sekarang tentang kegagalan. Namanya hidup, pasti ada suka dan dukanya dong. Sama kaya TV, hidup juga gak menarik kalau hanya satu warna. Lagipula, sebenarnya kegagalan juga yang membuat saya ingin menulis ini.

Tahun lalu, saya juga belajar dari kehilangan. Mulai dari kehilangan barang sampai kehilangan kepercayaan diri.

Ternyata, bro, barang itu memang lebih berharga setelah hilang. Sesuatu yang biasanya kita anggap remeh keberadaannya baru terasa pentingnya saat udah hilang. Saya kehilangan seperangkat alat kuliah pertengahan tahun lalu. Satu paket tas berisi laptop, hp, dompet, modem dan sanak keluarganya raib dalam hitungan menit. Itu bukan sulap, lho, soalnya setelah hilang gak bisa kembali. Setelah hilang, baru tuh terasa susahnya kalau barang-barang itu gak ada di samping saya. Ribet pula kalau hilang dompet tuh. Kan jadinya harus bikin ulang SIM, KTP, KTM, kartu ATM, dan foto pacar. Apalagi waktu itu yang hilang e-KTP. Baru sehari diambil dari Pak RT tuh, bro. Nyesek. Kabar baiknya, yang hilang bukan pendamping hidup. Hahahaha~

Tapi, dari semua itu, entah kenapa yang paling saya sesali adalah mengecewakan orang-orang yang percaya kepada saya. Setahun kemarin itu rasanya banyak sekali saya mengecewakan orang-orang yang berharap banyak dari saya. Mungkin harapan mereka terlalu tinggi, atau mungkin saya yang memang tidak bisa memenuhinya. Saya belajar bahwa kita harus berhati-hati dengan ekspektasi orang lain. Bisa jadi kita terlalu diharapkan lebih dari kemampuan kita. Selain itu juga harus hati-hati dengan perasaan mereka yang bekerja dengan kita. Saya pikir semua orang sama, akan sulit percaya lagi jika pernah merasa dikecewakan. Sejujurnya itu juga yang sangat saya takutkan. Saya takut orang lain menjadi enggan bekerja kembali dengan saya karena pernah mendapat pengalaman buruk. Hal terakhir yang paling bikin saya sedih adalah ketika saya kecewa dan menyesal tetapi tidak bisa mengekspresikannya. Ketika kita sudah melakukan suatu kesalahan, tentu ada rasa bersalah karena telah melakukannya. Cara agar terlepas dari rasa bersalah itu adalah dengan meminta maaf dan menunjukkan rasa penyesalan. Namun, bagaimana kalau tidak bisa melakukan itu? Muka saya yang datar ini sering bikin ekspresi yang salah. Gak jarang pesan yang ingin saya sampaikan malah melenceng dari yang diharapkan. Bayangkan kalau kamu nonton film drama yang sedih, tapi gak bisa nangis. Begitu lah kira-kira rasanya. Sesak di dada. 

Banyak yang bilang saya gak peka. Ada benarnya. Bahkan, sekarang, ini jadi bagian dari salahsatu resolusi terbesar saya tahun ini. Ingin aja gitu bisa tahu apa yang orang lain butuhkan dan inginkan dari saya. Ingin bisa jadi tempat cerita orang-orang. Ingin jadi orang yang bisa bersimpati dan berekspresi yang tepat di setiap situasi. Pokoknya peka deh. Sebenarnya ini juga demi masa depan yang lebih baik. Saya pernah dapat wejangan dari Andi Nata. Katanya, kalau mau jadi wirausaha itu harus peka. Peka sama lingkungan dan peka sama orang-orang sekitar. Dengan begitu, kita bisa tahu apa yang dibutuhkan dan bisa juga menyediakannya.

Sebenarnya banyak sih resolusi buat tahun ini. Pastinya sama juga kaya semua orang, ingin jadi pribadi yang lebih baik. Ilman pengen jadi lebih ramah, lebih soleh, lebih berprestasi, dan lebih sehat, dan lebih bermanfaat. Bantu Ilman, Ya Allah. Amin.

“Don’t promise something you can’t finish.” - Ilman Dzikri -
~Lesson learned~

Ilman Dzikri

Some say he’s half man half fish, others say he’s more of a seventy/thirty split. Either way he’s a fishy bastard.

0 komentar: